ANALISIS

Saling Tuding 'Batu Kerikil' Penyumbat Pertumbuhan Ekonomi

Yuliyanna Fauzi | CNN Indonesia
Kamis, 10 Agu 2017 16:09 WIB
Sejumlah suara berpendapat, ekonomi stagnan karena konsumsi rumah tangga yang lemah. Namun, ada pula yang menuding ulah belanja pemerintah yang lambat.
Sejumlah suara berpendapat, ekonomi stagnan karena konsumsi rumah tangga yang lemah. Namun, ada pula yang menuding ulah belanja pemerintah yang lambat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pertumbuhan ekonomi nasional tercatat tembus 5,01 persen pada semester I 2017. Angka ini sama persis dengan perolehan kuartal sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan pencapaian kuartal II 2016 lalu yang sebesar 5,04 persen, pertumbuhannya tercatat melambat.

Membedah kinerja ekonomi kuartal II, agaknya konsumsi rumah tangga yang notabene menjadi motor penggerak mulai kehilangan giginya. Tengoklah, kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan melorot dari 2,72 persen ke 2,65 persen. Padahal, dibanding realisasi kuartal I yang naik 4,94 persen, konsumsi rumah tangga pada kuartal II masih menunjukkan geliat bertumbuh hingga 4,95 persen.

Lalu, apa yang membuat konsumsi rumah tangga melemah? Apa benar masyarakat menahan belanja? Apa benar pola konsumsi masyarakat telah berubah? Atau ini imbas inflasi tinggi yang terjadi sejak awal tahun lantaran Tarif Dasar Listrik (TDL) meningkat?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menerangkan, konsumsi rumah tangga tumbuh tipis lantaran masyarakat menahan belanja sebagai persiapan merayakan lebaran. Namun, hal ini dianggap masih wajar.

"Sebenarnya, itu pun masih harus diberi catatan bahwa data per akhir Juni pada saat lebaran, itu masyarakat kita pas mau lebaran itu menahan uang dulu karena mau pulang (ke kampung). Itu sangat normal. Jadi, jangan melihat itu terjadi pelemahan," tutur dia, awal pekan ini.

Saling Tuding 'Batu Kerikil' Penyumbat Pertumbuhan EkonomiIlustrasi pembangunan. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu).

Justru, ia lebih menyoroti rendahnya kontribusi dari konsumsi pemerintah. Soalnya pertumbuhannya terkontraksi sampai minus 1,93 persen. Padahal, di kuartal I 2017, konsumsi pemerintah masih positif di angka 2,68 persen.

Seandainya, pertumbuhan konsumsi pemerintah itu stagnan dari kuartal I ke kuartal II, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi masih bisa sesuai harapannya, yaitu menembus 5,1 persen.

"Jadi, dia (konsumsi pemerintah) memang malah negatif. Tapi sebenarnya kalau itu membaik saja, angka (pertumbuhan ekonomi) 5,1 persen masih mungkin terjadi," ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, biang kerok yang memengaruhi konsumsi rumah tangga, yakni inflasi. Ia mengakui, inflasi sejak awal tahun memang memberi tekanan lantaran telah mencapai 2,38 persen secara tahun kalender (year to date/ytd) atau dari Januari-Juni 2017.

Capaian tersebut tercatat dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan inflasi Januari-Juni 2016 yang hanya berada pada kisaran 1,06 persen. "Kami perlu perhatikan inflasi yang memang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, maka itu menekan kuartal II," jelasnya.

Alhasil, Sri Mulyani menyebut, upaya menjaga inflasi stabil sampai akhir tahun adalah mutlak dilakukan pemerintah. Target inflasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sebesar 4,3 persen. Jika memungkinkan, inflasi akan dipatok hanya 4,0 persen, seperti target semula di APBN 2017.

"Kami harap, inflasi tidak setinggi perkiraan awal, masih di bawah 4,0 persen. Kami harap, momentum untuk konsumsi rumah tangga akan muncul lagi kuartal III dan IV 2017," kata Sri Mulyani.

Pandangan berbeda datang dari Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Ia melihat, konsumsi rumah tangga kuartal II 2017 dipengaruhi oleh perubahan pola belanja masyarakat dari offline store ke online.

Di satu sisi, hal ini menandakan tetap ada geliat konsumsi masyarakat, namun barang yang dibeli masyarakat tak bisa terekam oleh BPS karena akses BPS ke data transaksi dan penjualan melalui online belum tersedia.

"Mungkin, ada penurunan daya beli, kami tidak bisa pungkiri kalau konsumsi turun. Pertanyaannya sekarang, BPS sudah menangkap belum semua transaksi konsumsi yang terjadi?" tegas Bambang.

Semakin besarnya porsi belanja online, sambung dia, jika BPS masih menggunakan cara lama dan belum bisa mengakses data digital, kekhawatirannya belum semua transaksi tertangkap di data statistik.

Belum lagi, untuk mendukung data konsumsi dan daya beli masyarakat, dibutuhkan data penghasilan yang diterima para pekerja. Sedangkan, lagi-lagi data ini belum ada. Selama ini, BPS hanya merekam data pengeluaran masyarakat.

"Memang, sampai saat ini tidak pernah ada data penghasilan di BPS. BPS kan hanya pengeluaran. Ini memang perlu ditelaah lagi," katanya.

Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto mengaku, jangkauan data BPS masih terbatas pada pengeluaran dan belum mampu pula menjangkau transaksi dan penjualan toko online. Namun, ke depan BPS ingin menggandeng para pelaku online supaya bisa memperoleh data tersebut.

Meski tak ada data, BPS memprediksi, transaksi dan penjualan online masih rendah sumbangannya pada penjualan secara keseluruhan, termasuk yang dilakukan industri ritel.

"Secara nominal, mungkin besar, tapi presentasenya kecil. Pertumbuhan tidak setinggi yang kami bayangkan. Mungkin, transaksinya tumbuh tapi tidak melonjak," kata Ketjuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengungkapkan, perbedaan suara penyebab kurang darahnya perekonomian ini merupakan salah satu indikasi bahwa komunikasi antar menteri ekonomi di Kabinet Kerja tidak berjalan baik.

Padahal rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terus dilakukan. Tak cuma itu, sumber data yang didapat juga datang dari satu suara, yaitu BPS. Sehingga, disayangkan kalau cara membaca data masih berbeda-beda oleh para menteri.

"Ini bentuk komunikasi yang tidak jelas dari internal pemerintah. Padahal, kalau patokannya data BPS, memang bisa dibaca jelas bahwa sejak tiga tahun lalu tren konsumsi rumah tangga menurun," ucap Bhima.

Menurut Bhima, ada beberapa hal yang membuat konsumsi rumah tangga melemah. Pertama, penyerapan tenaga kerja yang rendah. Kedua, masyarakat kelas menengah atas yang menahan belanja.

Ketiga, kebijakan pencabutan subsidi listrik untuk pengguna dengan kapasitas listrik sebesar 900 voltampere (VA) pada Januari, Maret, dan Mei lalu. "Semuanya bisa dianggap penyebab daya beli menurun," tekan Bhima.

Sementara, untuk dugaan peralihan belanja dari offline ke online, dirasanya belum memberi efek kepada pelemahan konsumsi masyarakat. Pasalnya, porsinya masih sangat kecil.

Kendati demikian, ketimbang melemparkan dugaan-dugaan, lebih baik komunikasi kepada publik dilakukan hanya pada level Menteri Koordinator (Menko). "Seharusnya, cukup Menko Perekonomian saja yang beri penjelasan agar tidak simpang siur," imbuh dia.

Namun, koordinasi yang dilakukan tetap melalui rapat seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, khususnya kementerian teknis.

Adapun saat ini, pemerintah turut didesak untuk mampu menyelesaikan simpang siur asumsi dan solusi atas lemahnya konsumsi masyarakat hingga stagnannya pertumbuhan.
"Dibandingkan sibuk berdebat, lebih baik pemerintah segera keluarkan solusi yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat," pungkasnya.

Menurutnya, beberapa solusi yang bisa merangsang kembali konsumsi masyarakat, yaitu memaksimalkan aliran bantuan sosial (bansos) yang tepat waktu, mengoptimalkan dana desa, dan menjaga inflasi yang stabil sampai akhir tahun.

Nah, strategi lain untuk memompa pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga perlu memperhatikan realisasi belanja pemerintah yang diharapkan bisa lebih baik daripada kuartal II lalu. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER