Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia akan menuju masa-masa krisis gas. Setelah menikmati hasil dari ekspor gas sejak 1977, tak terasa dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun lagi Indonesia diramal mengalami defisit gas.
Menurunnya kemampuan produksi serta minimnya cadangan baru disebut jadi biang keladi permasalahan itu. Apalagi, permintaan akan gas diperkirakan terus bertambah. Sehingga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi bahwa defisit gas akan terjadi tahun 2019 mendatang.
Menurut neraca gas nasional, permintaan gas potensial, terkontrak, dan terkomitmen di tahun 2019 mendatang bisa mencapai 9.323 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sayang, suplainya hanya terbilang 7.651 MMSCFD, sehingga Indonesia membutuhkan impor gas sebesar 1.672 MMSCFD.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pemerintah belakangan mengatakan, defisit gas tak jadi berlangsung di tahun 2019 lantaran pasokan dari lapangan Jangkrik yang diprediksi bisa melonjak dari 450 MMSCFD ke angka 600 MMSCFD.
Meski demikian, ada potensi defisit gas bisa terjadi lagi di masa depan jika proyek penghasil gas seperti Blok Masela dan proyek laut dalam Gehem-Gendalo kelolaan Chevron tak kunjung beroperasi.
Direktur Eksekutif Petrominer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, defisit gas bisa menimbulkan rentetan masalah bagi penggunanya yang terdiri dari industri, rumah tangga, hingga pembangkit listrik.
Bahkan, kebutuhan gas bagi pembangkit di masa depan akan sangat tinggi sekali. Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2017 hingga 2026, kebutuhan gas pembangkit melonjak tajam dari 606 Trillion British Thermal Unit (TBTU) di tahun 2017 menjadi 1.194 TBTU di tahun 2026.
 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sebab, di dalam periode tersebut, akan ada tambahan kapasitas pembangkit sebesar 5.600 Megawatt (MW). Apalagi, kontribusi gas terhadap bauran energi nasional mencapai 26,7 persen dalam 10 tahun lagi. Dengan kata lain, gas adalah tenaga tumpuan kedua untuk listrik setelah batu bara.
Maka dari itu, jika gas tidak hadir secara maksimal, maka elektrifikasi nasional yang jadi taruhannya. "Jika defisit gas, dampak terburuk yang terjadi adalah alokasinya. Rumah tangga, industri, hingga pembangkit listrik bisa terpukul," papar Komaidi.
Oleh karenanya, Indonesia mau tak mau harus mengimpor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apalagi, prediksi tersebut juga sudah dicantumkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Hal itu membuat Indonesia perlu bergegas membangun infrastruktur pendukung, seperti fasilitas regasifikasi dan pipa distribusi.
"Memang, cover lapangan-lapangan (gas) disiapkan, namun Indonesia juga perlu mendatangkan impor gas. Kalau impor tentu menggunakan LNG, dan itu harus sedia infrastruktur seperti storage hingga regasifikasi," paparnya.
Pemerintah sendiri rencananya akan membangun infrastruktur gas nasional yang cukup ambisius dengan nilai US$48,2 miliar hingga tahun 2030. Angka itu mencakup pipa dengan nilai US$12 miliar, fasilitas regasifikasi dengan nilai US$6 miliar, hingga fasilitas likuifikasi gas dengan nilai US$25,6 miliar.
Dengan melihat konsentrasi pemanfaatan gas di sisi antara (
midstream) dan hilir, ia berharap kebijakan pemerintah bisa mengakomodasi dua kegiatan krusial tersebut di masa depan.
"Kemarin kan ada rencana revisi peraturan mengenai hilir gas, pemerintah bisa merapikan hilir dan
midstream di situ," paparnya.
Setali tiga uang, Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani menuturkan bahwa pembangunan infrastruktur perlu dikebut karena nantinya Indonesia akan bersaing dengan negara-negara Asia lainnya dalam mendapatkan LNG impor.
"Indonesia harus segera agresif, melihat kesigapan Thailand, Vietnam, hingga Filipina. Kalau semua negara Asia Tenggara membangun infrastruktur gas dalam waktu bersamaan, maka untuk mendapatkan kontrak gas impor adalah hal yang perlu diperhatikan," ujar Yenni.
Di sisi lain, Senior Expert Gas and Power Wood Mackenzie Edi Saputra menambahkan, Indonesia sebetulnya belum membutuhkan kontrak impor LNG dalam jangka panjang.
Ia menilai defisit gas mungkin terjadi di antara tahun 2020 hingga 2025 mendatang, namun Indonesia diprediksi masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri setelah periode tersebut.
Edi mengatakan, memang kontributor terbesar kedua tenaga listrik nantinya akan datang dari gas, tetapi belum tentu utilisasi pembangkitnya mencapai 100 persen.
"Kalau nantinya ada pembangkit sebesar 13.500 MW dari gas, tapi kalau hanya dipakai 30 persen atau 40 persen,
demand-nya tidak akan sebesar yang diperkirakan," kata Edi.
Kalau pun Indonesia nantinya jadi mengimpor LNG, ia berharap pemerintah bisa mengatasi permasalahan utama pembelian LNG di masa depan, yakni harga.
Ia menuturkan, harga LNG di masa depan bisa terus meningkat seiring membengkaknya biaya pengembangan lapangan gas. Ini pun, lanjutnya, juga bisa dipicu oleh menurunnya tingkat keekonomian proyek-proyek LNG di berbagai belahan dunia lantaran harga minyak bumi masih di kisaran US$50 per barel.
Maka dari itu, pemerintah harus menelurkan kebijakan agar harga LNG bisa lebih terjangkau.
Saat ini kebijakan penetapan harga gas impor saat ini baru ditetapkan untuk pembangkit listrik melalui mekanisme harga batas atas (
ceiling price) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017. Di dalam beleid itu, harga gas impor ditetapkan tidak boleh lebih besar dari 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia.
Menurut Edi, penetapan
ceiling price tentu akan menghalangi suplai LNG ke pembangkit, karena tidak ada produsen yang mau menyalurkan gasnya kalau harganya terlalu murah. Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk mengganti sistem
ceiling price dengan sistem lelang LNG dengan mencari harga yang kompetitif.
"Pemerintah bisa menggunakan sistem tender, tidak perlu digunakan ceiling price yang begitu restriktif. Pemerintah harus realistis, memang ada permintaan, tapi kalau aturannya terlalu restriktif, maka yang ada jadinya
supply scarcity," pungkas Edi.
Kebutuhan gas memang akan terus meningkat, dan potensi defisit gas masih bisa terlihat di depan mata meski peluangnya lebih kecil dari sebelumnya. Infrastruktur pendukung memang diperlukan, tapi kebijakan yang tepat juga diperlukan agar Indonesia bisa mengamankan suplai di masa depan.