Di sisi lain, Senior Expert Gas and Power Wood Mackenzie Edi Saputra menambahkan, Indonesia sebetulnya belum membutuhkan kontrak impor LNG dalam jangka panjang.
Ia menilai defisit gas mungkin terjadi di antara tahun 2020 hingga 2025 mendatang, namun Indonesia diprediksi masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri setelah periode tersebut.
Edi mengatakan, memang kontributor terbesar kedua tenaga listrik nantinya akan datang dari gas, tetapi belum tentu utilisasi pembangkitnya mencapai 100 persen.
"Kalau nantinya ada pembangkit sebesar 13.500 MW dari gas, tapi kalau hanya dipakai 30 persen atau 40 persen,
demand-nya tidak akan sebesar yang diperkirakan," kata Edi.
Kalau pun Indonesia nantinya jadi mengimpor LNG, ia berharap pemerintah bisa mengatasi permasalahan utama pembelian LNG di masa depan, yakni harga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, harga LNG di masa depan bisa terus meningkat seiring membengkaknya biaya pengembangan lapangan gas. Ini pun, lanjutnya, juga bisa dipicu oleh menurunnya tingkat keekonomian proyek-proyek LNG di berbagai belahan dunia lantaran harga minyak bumi masih di kisaran US$50 per barel.
Maka dari itu, pemerintah harus menelurkan kebijakan agar harga LNG bisa lebih terjangkau.
Saat ini kebijakan penetapan harga gas impor saat ini baru ditetapkan untuk pembangkit listrik melalui mekanisme harga batas atas (
ceiling price) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017. Di dalam beleid itu, harga gas impor ditetapkan tidak boleh lebih besar dari 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia.
Menurut Edi, penetapan
ceiling price tentu akan menghalangi suplai LNG ke pembangkit, karena tidak ada produsen yang mau menyalurkan gasnya kalau harganya terlalu murah. Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk mengganti sistem
ceiling price dengan sistem lelang LNG dengan mencari harga yang kompetitif.
"Pemerintah bisa menggunakan sistem tender, tidak perlu digunakan ceiling price yang begitu restriktif. Pemerintah harus realistis, memang ada permintaan, tapi kalau aturannya terlalu restriktif, maka yang ada jadinya
supply scarcity," pungkas Edi.
Kebutuhan gas memang akan terus meningkat, dan potensi defisit gas masih bisa terlihat di depan mata meski peluangnya lebih kecil dari sebelumnya. Infrastruktur pendukung memang diperlukan, tapi kebijakan yang tepat juga diperlukan agar Indonesia bisa mengamankan suplai di masa depan.