Jakarta, CNN Indonesia -- Awan gelap masih menyelimuti industri properti nasional. Lihatlah, tren pertumbuhannya terus melambat sejak masa jayanya pada 2014 silam. Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) melansir, pertumbuhan properti pada kuartal II 2017 cuma 3,61 persen atau lebih imut-imut ketimbang kuartal sebelumnya, yaitu 4,16 persen.
Sementara, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) periode April-Juni lalu tumbuh 1,18 persen secara tahun kalender (year to date/ytd) atau terkoreksi dibandingkan kuartal I 2017 yang masih tumbuh 1,23 persen.
Lesunya sektor properti sedikit banyak dipengaruhi oleh permintaan masyarakat terhadap rumah hunian. Salah satu faktornya, yakni suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di bank yang dinilai masih tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia Property Watch (IPW) bahkan menyebut penjualan rumah tapak anjlok hingga 63,6 persen pada kuartal II 2017, terutama untuk rumah-rumah yang dibanderol dengan harga di atas Rp1 miliar. Adapun, penurunan tertinggi terjadi di Provinsi Banten, yaitu sebesar 9,3 persen.
Menurut IPW, anjloknya penjualan rumah lantaran kalangan atas menahan diri untuk membeli rumah seiring dengan situasi pasar yang tak kondusif. Selain itu, momentum ramadan dan lebaran kuartal II lalu membuat masyarakat lebih memilih untuk menyimpan dananya.
Makanya, BI secepat kilat meracik ramuan mendongkrak penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR). Yang dipertimbangkan bank sentral saat ini, yakni rencana mengubah rasio pinjaman (Loan to Value/LTV) kredit perbankan untuk sektor properti berdasarkan wilayah. Saat ini, rasio LTV dipukul rata sebesar 85 persen secara nasional.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, rencana ini dikaji BI karena pertumbuhan kredit memiliki perkembangan yang berbeda-beda antar wilayah. Ada beberapa wilayah yang memiliki pertumbuhan kredit baik, seperti Sumatra, Bali, dan Papua.
Namun, ada wilayah yang kurang bergairah, yaitu Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Artinya, bisa saja di masa mendatang, besaran uang muka KPR bagi masyarakat di Jawa berbeda dengan yang ada di Papua.
"BI sedang kaji ekspansi dan intermediasi penyaluran kredit perbankan, terkait LTV spasial sesuai dengan regional tersebut," ujar Agus, belum lama ini.
Hal itu bukan tidak mungkin ditempuh, mengingat BI baru saja melonggarkan kebijakan moneter berupa penurunan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo/7DRR) Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen pada Agustus ini.
Oleh karena itu, kajian perubahan LTV bisa saja dilakukan, sehingga perbankan mampu memperluas penyaluran kredit kepada masyarakat. Ujung-ujungnya akan menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Ketua DPD Realestate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata menuturkan, pelonggaran LTV tentu memberi dampak. Misalnya dilonggarkan sampai 90 persen sampai 95 persen, sehingga uang muka yang wajib disetor masyarakat menjadi hanya sekitar 5 persen sampai 10 persen saja.
"Misalnya, pelonggaran LTV diberikan ke daerah yang dominan kalangan menengah ke bawah, tapi rasio LTV 85 persen masih cocok untuk kalangan menengah ke atas," terang Soelaeman kepada CNNIndonesia.com.
Hanya saja, ia melihat, stimulus untuk merangsang sektor properti tak bisa hanya dengan LTV. Sebab, persoalan daya beli masyarakat merujuk pada harga jual rumah yang terus melambung setiap tahun.
Makanya, ia menilai, dari sisi perbankan, diharapkan kebijakan tidak hanya mengubah besaran DP dari pelonggaran LTV. Namun, turut melonggarkan bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). "Saat ini, bank terlalu straight (lempang) menentukan kredit konstruksinya terlalu tinggi," imbuh Soelaeman.
Hitungannya, apabila 7DRR Rate telah mencapai 4,5 persen dan inflasi sekitar 3,8 persen (yoy), setidaknya bunga KPR masih mungkin berada di level 7 persen sampai 8 persen. Sayangnya, masih ada beberapa perbankan yang memberi KPR hingga kisaran 12 persen-13 persen.
"Idealnya di bawah 10 persen. Itu lebih menggairahkan, karena dari sisi konsumen mendapatkan keringanan," katanya.
Selain itu, merujuk pada akar masalah kemampuan beli, tentu harga rumah jangan dikerek terlalu tinggi oleh pengembang. Hanya saja, terkait hal ini, pengembang punya tiga pokok masalah dari beberapa komponen harga rumah yang terus meningkat. Pertama, biaya bahan bangunan. Kedua, biaya perizinan. Ketiga, biaya perpajakan.
Untuk biaya bahan bangunan, menurut Soelaeman, sulit mengerem harga karena industri bahan bangunan juga perlu bertumbuh. Nah, seharusnya, dari sisi perizinan dan perpajakan bisa mengimbangi hal ini.
"Masih banyak daerah yang izinnya susah dan mahal. Padahal, pelayanannya kurang. Pemerintah bilang akan mempermudah dan murah, tapi rasanya belum," tuturnya.
Sedangkan, dari sisi perpajakan, ia mengeluhkan kajian pajak final dan non final oleh pemerintah. Sebab, memberi ketidakpastian bagi pengembang. "Sistem perpajakan ini harus lebih sederhana dan besaran pungutannya disesuaikan," terang dia.
Stimulus lain yang bisa turut diupayakan pemerintah, yaitu percepatan pembangunan infrastruktur. Pasalnya, infrastruktur yang telah terbangun di suatu wilayah, terutama infrastruktur yang berguna meningkatkan serta memudahkan akses masyarakat, tentu lebih menjanjikan bagi pengembang.
Sehingga, saat pengembang membangun perumahan dan properti lainnya, ada kelebihan yang bisa ditawarkan kepada masyarakat dan tak ada keraguan membeli properti di wilayah tersebut.
"Masalahnya, infrastruktur ini baru jadi dua sampai tiga tahun lagi. Jadi, dampaknya ke sektor riil masih lama," ucapnya.
Kendati begitu, Soelaeman berharap, pelonggaran LTV BI dapat menjadi gong bagi seluruh pihak untuk mengembalikan pertumbuhan sektor properti pada paruh kedua nanti.
Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda bilang, rencana pelonggaran LTV oleh BI memang ditunggu-tunggu. Hanya saja, sebenarnya tak perlu secara spasial, melainkan tetap dipukul rata. Namun, rasionya ditingkatkan dari 85 persen menjadi 95 persen. Artinya, DP rumah bisa hanya 5,0 persen saja.
Sebab, Ali melihat, ketika LTV dilonggarkan dari 80 persen ke 85 persen, uang muka yang perlu dibayarkan berkurang jadi 15 persen. Sayangnya, hal ini dianggap belum terlalu menggiurkan masyarakat untuk membeli. Alhasil, penjualan properti, khususnya rumah tak meroket tajam.
"Jadi, kalau mau mendongkrak daya beli masyarakat harus benar berani drastis. Seharusnya, langsung 'boom' dari 20 persen ke 5,0 persen," kata Ali.
Kemudian, ia juga melihat, perbankan perlu segera mengambil langkah dengan menurunkan bunga KPR ke kisaran 8 persen. Sebab, dengan penurunan 7DRR Rate, biasanya penyesuaian baru terjadi dalam tiga bulan.
Pun demikian, diharapkan penyesuaian bisa lebih cepat. Misalnya, satu bulan. Sebab, pergantian tahun tinggal empat bulan. Sedangkan, penurunan KPR seharusnya bisa efektif tahun ini sehingga memberi sentimen positif ke awal tahun depan.
"Harus segera supaya pertumbuhan di awal tahun depan masih bagus. Soalnya, menuju pertengahan 2018 sudah condong ke tahun Pemilu, khawatirnya, masyarakat mulai tahan lagi," jelasnya.
Hitung-hitungan Ali, penurunan bunga KPR sekitar satu persen bisa menumbuhkan permintaan KPR sampai sekitar 4 persen-5,0 persen. Sedangkan, pertumbuhan permintaan KPR bisa sebanding dengan pertumbuhan penjualan rumah. Sehingga penjualan rumah diharap bisa meningkat dua kali lipat dari posisi saat ini.
(bir)