Nusa Dua, CNN Indonesia -- Penyaluran pembiayaan perumahan di Indonesia masih mengalami beberapa kendala, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder. Padahal, kebutuhan perumahan di Indonesia masih sangat besar.
Pemerintah mencatat pada 2015 lalu, total kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi (backlog) mencapai 11, 4 juta unit. Dengan asumsi harga rumah per unit Rp120 juta per unit, maka kebutuhan pembiayaan perumahan di Indonesia mencapai lebih dari Rp600 triliun.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengungkapkan, penyaluran pembiayaan di pasar primer atau langsung dari perbankan ke nasabah masih terkendala tingginya suku bunga. Hal itu mengurangi kemampuan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pinjaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rata-rata suku bunga dasar kredit pemilikan rumah (KPR) masih berada di level dua digit per November 2016. Padahal sejak Januari 2016, bank sentral beberapa kali memangkas suku bunga acuan.
"Penurunan BI7-DRRR tak cukup untuk mendorong bank menurunkan suku bunga kredit perumahan karena KPR dianggap sebagai kredit berisiko tinggi dan merupakan kredit jangka panjang," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida saat menghadiri Asia Fixed Income Summit (AFIS) ke-4 di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/9).
Dari sisi sumber dana, perbankan juga terkendala ketidakcocokan maturitas antara sumber dana perbankan yang mayoritas bersifat jangka pendek dengan kebutuhkan pembiayaan perumahan yang berjangka panjang.
Guna menyiasati kendala maturitas tersebut, lanjut Nurhaida, pembiayaan melalui pasar sekunder dalam bentuk sekuritisasi bisa menjadi pilihan. Beberapa jenis produk sekuritisasi yang diterbitkan di Indonesia adalah Efek Beragun Aset Kredit Pemilikan Rumah (EBA KPR) dan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA SP).
Melalui sekuritisasi, perbankan menjual aset KPR nasabah kepada investor sehingga bisa mendapatkan pelunasan kredit lebih cepat.
"Sekuritisasi membuat bank mendapatkan cash lebih awal sehingga bisa digunakan bank untuk menyalurkan kredit perumahan lagi," ujarnya.
Produk Sekuritisasi Nasional Masih TerbatasMenyadari hal itu, OJK telah merilis Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 sebagai diubah oleh POJK Nomor 20/POJK.04/2017 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder.
"Kami berharap, pasar sekunder bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketidakcocokan maturitas," ujarnya.
Namun demikian, penerbitan produk sekuritisasi di Indonesia masih terbatas. Sebagai gambaran, sejak berdiri pada 2005 lalu, total sekuritisasi yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), perusahan pelat merah yang bergerak di bidang pasar pembiayaan sekunder perumahan, baru 11 sekuritisasi dengan nilai Rp8,1 triliun.
Kendalanya, tidak semua bank merelakan aset kredit perumahan nasabah dijual kepada investor karena akan mempengaruhi kualitas kredit. Pasalnya, aset yang bisa disekuritisasi adalah aset yang tergolong bagus.
"Cicilan KPR itu kan biasanya dipotong langsung dari gaji. Jadi bagi bank ini merupakan aset yang bagus dan membuat bank berpikir untuk melepas," ujarnya.
Sebenarnya, lanjut Nurhaida, jika bank melakukan sekuritisasi, bank bisa menyalurkan KPR lebih banyak sambil menjaga kualitas debitur.
Dari sisi permintaan, OJK telah mendorong permintaan produk sekuritisasi dengan memperbolehkan sekuritisasi sebagai bentuk investasi yang bisa dijadikan intrumen pengganti untuk memenuhi kewajiban penempatan pada Surat Berharga Negara oleh lembaga jasa keuangan nonbank.
Ke depan, OJK terus memikirkan terobosan untuk mendukung pembiayaan perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih sejahtera dan akan berdampak positif pada produktivitas.