Jakarta, CNN Indonesia -- Lahan tembakau diduga menjadi salah satu tempat yang banyak 'mempekerjakan' anak. Anak-anak biasanya membantu orang tuanya yang bekerja sebagai petani tembakau setelah pulang sekolah.
Leaf Agronomy Manager PT HM Sampoerna Tbk Bakti Kurniawan menuturkan, pekerja anak di lahan pertanian tembakau bukan hanya disebabkan faktor ekonomi, tetapi juga kebiasaan.
Kondisi tersebut pun membuat pihaknya sulit untuk memberikan larangan untuk melibatkan anak-anak di lahan tembakau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, anak-anak yang terlibat biasanya juga bekerja sebagai buruh tani yang tidak dibina langsung oleh Sampoerna. Guna memangkas jumlah pekerja anak, Sampoerna membuat program After School dan rumah pintar, yang diharapkan dapat mengalihkan kebiasaan anak-anak.
Mereka biasanya membantu orang tuanya bekerja di ladang setelah pulang sekolah antara lain karena tidak memiliki kegiatan lain. Mayoritas anak-anak itu berusia di bawah 14 tahun.
"Dari beberapa anak yang kamu survei, sekitar 70 persennya sudah keluar dari kebiasaan membantu orang tuanya di ladang setelah pulang sekolah," ujar Bakti di Lombok Timur, Kamis (7/9).
Bakti menjelaskan, After School merupakan program tambahan pengetahuan maupun keterampilan sesuai minat anak-anak yang dilaksanakan di luar jam sekolah.
Program ini bekerja sama dengan sekolah, terutama pada sekolah yang lokasinya berdekatan dengan lahan-lahan petani mitra binaan Sampoerna.
 Aktivitas petani tembakau. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha) |
Terbesar di LombokSaat ini, menurut Bakti, pihaknya sudah bekerja sama dengan 25 sekolah di Jawa dan 50 sekolah di Lombok guna menyelenggarakan program tersebut.
"Memang kegiatan ini lebih banyak di Lombok, karena berdasarkan data kami, pekerja anak lebih banyak di sini. Ini karena di Lombok itu biasanya tembakau setelah panen diikat-ikat yang kemudian dikerjakan anak-anak, beda dengan di Jawa yang dirajang," terang dia.
Rumah pintar merupakan program sejenis After School dilakukan di luar sekolah dengan menyediakan fasilitas dan mentor sesuai kebutuhan dan minat anak. Saat ini, beberapa rumah pintar yang sudah ada, menyediakan fasilitas taman bermain dan taman bacaan, serta mentor.
"After School sudah lima tahun. Rumah Pintar sejak tahun lalu, tahun lalu baru ada dua, tahun ini ada empat," jelasnya.
Tujuan akhir dari kedua program ini adalah mencegah para siswa turut bekerja di perkebunan tembakau bersama orangtuanya. Saat ini, program luar kelas telah menjangkau lebih dari 4.800 murid.
Pada Mei lalu, Human Rights Watch (HRW) mendokumentasikan bagaimana buruh anak terpapar nikotin, mengangkat beban berat dan bekerja di panas ekstrim saat berada di ladang tembakau. Organisasi itu menyatakan pekerjaan itu akan berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan anak-anak.
Kesehatan Buruh AnakHRW menyatakan Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar kelima di dunia, dengan lebih dari 500.000 pertanian tembakau. Namun HRW tak bisa menemukan perkiraan resmi jumlah anak yang bekerja di pertanian tembakau.
“Perusahaan tembakau menghasikan uang dari pinggang dan kesehatan buruh anak,” kata Margareth Wurth, Peneliti Hak Anak HRW dalam rilisnya. “Perusahaan rokok semestinya tak berkontribusi dalam penggunaan buruh anak pada pekerjaan berbahaya dalam pasokan mereka.”
Laporan ini berdasarkan wawancara dengan 227 orang, termasuk 132 buruh anak usia 8 hingga 17 tahun di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Sebagian besar mulai bekerja sejak usia 12 tahun, sepanjang musim tanam, di lahan-lahan kecil yang diolah oleh keluarga atau tetangga mereka.
[Gambas:Youtube] (asa)