Bandung, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) meyakini, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve tak akan lebih cepat dari proyeksi semula pada Desember 2017.
Proyeksi BI tersebut tak berubah, kendati Gubernur The Fed Janet Yellen baru saja mengeluarkan pernyataan bahwa kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tak bisa diprediksi, tetapi tetap akan melihat pada data inflasi dan data ketenagakerjaan AS dalam beberapa bulan ke depan.
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, hasil komunukasi BI dengan The Fed berjalan cukup baik sejak tiga tahun terakhir. Dengan demikian, BI pun merasa yakin dalam membaca arah kebijakan The Fed, termasuk dalam mengantisipasi dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak (akan lebih cepat dari Desember 2017). Karena The Fed itu, pertemuan FOMC meeting-nya terjadwal, yang kami sama-sama kaji itu di Desember (kenaikan FFR)," ujar Agus, Rabu (27/9).
Agus menilai, The Fed tak akan mengambil keputusan yang mendadak dan memberikan keterkejutan di pasar keuangan global. Pasalnya, hal tersebut dapat memberikan sentimen negatif yang berlebih pada pasar keuangan global.
Selama ini, menurut dia, The Fed telah menunjukkan konsistensinya dalam memberikan informasi terkait kebijakan yang akan dilakukannya. Ini tercermin dari kebijakan FFR yang belakangan dilakukannya.
Selain itu, perkiraan kenaikan FFR yang tetap pada Desember mendatang, sambung Agus, juga terlihat dari kondisi perekonomian global yang tentu tak luput dari perhitungan The Fed. Salah satunya, dari sentimen ketegangan geopolitik antara AS dengan Korea Utara di Semenanjung Korea.
"Adanya ketegangan geopolitik Korea Utara yang kemudian direspon AS dan direspon kembali oleh Korea Utara, itu membuat pasar kurang begitu stabi. Jadi, kami melihat bahwa The Fed cukup konsisten dengan kenaikannya di bulan Desember 2017," terangnya.
Kendati demikian, Agus mengaku pihaknya akan terus menyiapkan antisipasi kenaikan FFR terhadap perekonomian tanah air. Namun, dengan kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini yang terbilang baik, Agus yakin, dampaknya tak besar. Demikian pula dengan dampak rencana The Fed untuk menurunkan besaran neracanya yang saat ini lebih dari US$4,5 triliun dan akan diturunkan secara bertahap sekitar US$10 miliar per bulan mulai Oktober mendatang.
"BI melihat, makro ekonomi Indonesia dalam keadaan baik, termasuk inflasi 2017 juga menunjukkan kondisi yang terjaga sesuai target," jelasnya.
Adapun Indonesia mengalami deflasi 0,07 persen secara bulanan pada Agustus lalu. Lalu, secara tahun berjalan, inflasi Januari-Agustus 2017 sebesar 2,53 persen dan inflasi tahunan sebesar 3,82 persen.
Sebelumnya, Yellen mengatakan bahwa The Fed mungkin telah salah menentukan model untuk inflasi dan salah menilai data pasar ketenagakerjaan dan data inflasi. "Kami akan berhati-hati untuk menahan agar kebijakan moneter ditahan sampai inflasi kembali ke dua persen," kata Yellen.
"Tanpa kenaikan tingkat suku bunga dana federal yang lebih rendah dari waktu ke waktu, ada risiko pasar tenaga kerja pada akhirnya bisa menjadi terlalu panas, berpotensi menciptakan masalah inflasi di jalan yang mungkin sulit diatasi tanpa memicu resesi," imbuhnya.