Jakarta, CNN Indonesia -- Pergerakan nilai tukar (kurs) rupiah hingga akhir tahun ini diramal akan bersandar pada kisaran Rp13.400 sampai Rp13.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, ada potensi kurs rupiah tak sesuai target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp13.400 per dolar AS.
Adapun sampai pagi tadi, pergerakan rupiah telah menembus angka Rp13.483 per dolar AS atau terdepresiasi sekitar 0,33 persen dari penutupan perdagangan pada Rabu (27/9).
Ekonom PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Winang Budoyo mengatakan, pergerakan kurs rupiah yang meleset dari target pemerintah itu lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal dari AS. Sebab, Presiden AS Donald Trump telah mengeluarkan kebijakan pengurangan pajak bagi individu dan korporasi yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam membaik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, perbaikan perekonomian AS akan membuat Bank Sentral AS, The Federal Reserve kian percaya diri untuk menaikkan suku bunga acuan
(Fed Fund Rate/FFR) pada Desember mendatang.
"Bila kenaikan suku bunga acuan The Fed akan terus dijalankan, akibatnya rupiah melemah ke level Rp13.545 per dolar AS, yang berarti melemah sebesar 4,6 persen (yoy) atau minus 0,5 persen (ytd)," terang Winang dalam keterangan tertulis, Kamis (28/9).
Ia pun memproyeksi, rupiah akan finis di kisaran Rp13.500 per dolar AS pada penghujung tahun ini. Bersamaan dengan itu, Winang melihat, perlu direspon dengan kebijakan penahan suku bunga acuan
(7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) Bank Indonesia (BI) sebesar 4,25 persen. Setelah, dipangkas dua kali pada Agustus dan September lalu.
Kendati begitu, Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede melihat, masih ada ruang bagi rupiah bersandar sesuai target pemerintah di angka Rp13.400 per dolar AS pada akhir 2017.
Namun, harapannya hanya pada pelemahan dolar AS. Sebab, sentimen yang bisa mendorong penguatan rupiah dari sisi domestik masih sangat minim.
Adapun pelemahan dolar AS, kata Josua, masih bisa terjadi bila ketegangan geopolitik di Semenjung Korea antara AS dan Korea Utara berlanjut.
"Semestinya bisa agak menguat karena ada faktor eksternal yang dominan, misal geopolitik AS-Korea Utara. Kemarin dolar AS sempat melemah karena itu. Jadi, bisa menghambat penguatan dolar AS," jelas Josua.
Namun, dari sisi domestik, pemerintah dan BI dirasa perlu terus berupaya menjaga laju inflasi agar tetap rendah. Sehingga, bisa mengimbangi rupiah bila terus melemah.