Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah mengajukan izin pelepasan (spin off) Unit Usaha Syariah (UUS) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun lalu, PT Asuransi Bangun Askrida resmi memiliki anak usaha di sektor syariah, yaitu PT Asuransi Askrida Syariah.
Askrida Syariah menjadi UUS pertama yang lepas landas menjadi perusahaan asuransi syariah, sebelum beberapa asuransi konvensional lainnya mengekor.
Lantas, apa saja target-target yang dibidik perusahaan untuk meraup cuan di sektor bisnis ini? Lalu, bagaimana strategi bisnis Askrida Syariah guna menaklukkan pasar asuransi syariah di Indonesia?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut petikan wawancara
CNNIndonesia.com dengan Direktur Utama Askrida Syariah Abdul Mulki beberapa waktu lalu.
Seperti apa perjalanan singkat Askrida Syariah saat menjadi UUS hingga akhirnya berhasil lepas dari induk?
Mulanya kami merupakan UUS di bawah PT Asuransi Bangun Askrida sejak 2007. Lalu, sejak tahun 2012, tepatnya lima tahun sebelum mengajukan izin spin off, pertumbuhan asuransi syariah di perusahaan ini bertumbuh pesat. Bahkan, pertumbuhan kami meningkat sekitar 60 persen dalam lima tahun terakhir. Padahal itu baru dikerjakan oleh satu divisi saja.
Untuk itu, kami mulai memperluas produk. Hanya saja, dengan status UUS, perluasan bisnis masih cukup terbatas. Akhirnya, kami memutuskan untuk melakukan spin off dan mengajukan izin ke OJK.
Selain karena ada peraturan spin off dari OJK, kami juga melihat bahwa pasar syariah ini terus berkembang. Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim yang besar, sehingga kami melihat peluang besar pula untuk memperluas produk asuransi syariah.
Apa saja target yang dibidik pada tahun pertama menjadi asuransi syariah? Dari sisi pendapatan premi, kami targetkan naik 50 persen dari tahun lalu. Akhir tahun lalu, kami closing di angka Rp367 miliar. Maka, kami targetkan pada tahun ini naik hampir Rp560 miliar.
Dari sisi industri, kalau ini tercapai (target pendapatan premi Rp560 miliar), kami bisa jadi nomor satu sebagai perusahaan asuransi umum syariah yang terbesar. Karena saat ini, beberapa pemain asuransi syariah yang cukup besar masih merupakan UUS.
Apa saja strategi perusahaan untuk mengejar target-target tersebut?Untuk mengejar pendapatan premi, kami punya beberapa produk, di mana saat ini kami lebih banyak ke pembiayaan syariah konsumtif. Jadi lebih ke perbankan, itu hampir setengahnya kami kerja sama dengan hampir seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Indonesia dan juga kami ke beberapa Pemerintah Provinsi (Pemprov).
Meski, saat ini beberapa bank syariah besar belum kami garap, misalnya Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Bukopin Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, UUS BTN Syariah, dan lainnya, itu kami memang belum, tapi akan.
Untuk target pendapatan premi dari BPD dan Pemprov sendiri targetnya seberapa besar?Kalau melihat dari kinerja tahun lalu, Rp367 miliar, sekitar 60 persen itu dari captive kami, itu dari BPD di seluruh Indonesia, dari Aceh sampai Maluku, ada 33 bank. Jadi yang punya unit syariah, otomatis kerja sama dengan kami. Misalnya, di Aceh sudah ada Bank Aceh yang syariah, di Bandung, sudah ada Bank Jabar Syariah.
Sebentar lagi, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga akan syariah. Sementara yang masih proses, seperti Bank Riau, Bank Jatim, itu semua kami tinggal tunggu (berubah menjadi syariah). Peluang ini yang akan kami garap.
Lalu, target untuk bank syariah dan UUS lainnya?Ada sekitar sembilan bank (syariah dan yang memiliki UUS) akan kami kejar agar berekanan dengan kami. Untuk 2018, yang kami mulai adalah BSM, BNI Syariah, BRI Syairah, Bank Mualamat juga.
Misalnya dengan Bank Muamalat. Dulu kami kerja sama dengan Bank Muamalat dengan share hanya sekitar 2,5 persen saja, kami dapat kontribusi premi sekitar Rp4 miliar. Itu baru 2,5 persen padahal. Nah, ke depan tentu bisa ditingkatkan.
Kami targetkan dengan bank syariah tadi (ada sembilan bank) ada sekitar Rp100 miliar (pendapatan premi), dengan asumsi kami targetkan dapat share sekitar 10 persen saja (dari masing-masing bank), itu sudah lumayan.
Kami masuk ke employee benefit, nama produknya Syifa Askrida, bentuknya asuransi kesehatan. Kami bnayak target market di situ. Jadi itu lebih kepada pengelolaan risiko karena klaim kesehatan itu pasti dibutuhkan.
 Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Untuk employee benefit, apa ada target pasar dari perusahaan swasta?Ada, misalnya sekarang AirAsia ada di kami. Ini merupakan tahun kedua mereka bersama kami. Mereka menyumbang cukup besar. Lalu, hampir semua perusahaan stasiun televisi nasional di kami, seperti TransTV, TVOne, MetroTV, dan lainnya. Lalu, ada dari sektor lain, misalnya ConocoPhillips.
Selain 60 persen dari produk asuransi tersebut, sisanya didapat dari produk apa?Selain itu, ada travel insurance untuk umroh, ini pasar yang besar. Saya baru urus izinnya (pemasaran produknya). Saat ini, travel umroh banyak ditutup oleh asuransi joint venture dan yang non syariah, hampir sekitar 70 persennya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan ini.
Untuk produk ini, kami masuk dengan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia (AMPHURI). Jadi nanti kami masuk pasar lewat agen, travelnya jadi agen kami. Semua yang terbang diasuransikan dengan produk kami. Asal asosiasinya juga syariah, makanya kami tujukan yang asosiasi syariah.
Sebenarnya kami sudah ingin masuk untuk produk travel insurance sejak tahun lalu. Sebelumnya, saya sudah kerja sama dengan satu travel umroh besar, tapi entah kenapa dibatalkan. Saat hari H mau tanda yangan, kemudian tidak jadi ternyata travelnya kena masalah.
Waktu itu, estimasinya biaya premi sekitar Rp7-8 ribu per orang per terbang, tapi dengan volume jemaah umroh setiap tahun yang sangat besar, ini potensi yang bagus.
Apakah ada produk lain?Produk lain adalah asuransi untuk malpraktek. Kami pilih karena saat ini tidak ada (asuransi syariah) yang cover. Kalau kami bersaing dengan asuransi konvensional memang tidak mungkin, tapi untuk pasar syariah ini peluang.
Produknya, dokter beli polis jiwa. Kami masuk ke rujmah sakit. Kami estimasi total pasarnya ada sekitar Rp200 miliar untuk semua rumah sakit di Indonesia. Saat ini jumlah rumah sakit di Indonesia ada sekitar 1.200 provider penyedia layanan kesehatan.
Asumsinya, bila satu rumah sakit ada 40 dokter, preminya ada sekitar Rp300 juta. Tapi kan kami tidak langsung dapat semua, tapi setidaknya bisa dapat sumbangan premi dari produk ini, targetnya Rp20 miliar.
Setelah memetakan target dan produk, bagaimana strategi pemasarannya?Dari sisi distribusi, agen kami masih lebih banyak terkonsentrasi di Jakarta. Di daerah lain, kami punya tujuh cabang yang eksis, empat cabang dalam izin, dan sisanya sekitar tujuh unit layanan syariah. Kami targetkan agen bisa maksimal di titik-titik ini.
Kalau dari sisi kantor, saat ini kami masih sewa, tapi ada yang sudah berkantor sendiri, misalnya di Bandung. Untuk yang sewa, kami lebih banyak sewa ke perusahaan induk, tentu dengan harga 'adik-kakak'.
Untuk kantor yang pisah, misalnya Bandung dan Aceh. Untuk Jakarta baru mau kami pisahkan tahun ini, begitu pula dengan Makassar dan Padang.
Bagaimana dengan total aset dan modal setelah spin off?Kemarin, saat kami jadi UUS, modal awal Rp50 miliar, sekarang Rp83 miliar (setelah spin off). Meski masih minim dari ketentuan OJK sebesar Rp100 miliar, tapi induk menyuntik lagi Rp100 miliar pada akhir tahun kemarin. Berarti posisi modal pada tahun ini sebesar Rp183 miliar (per awal tahun ini).
Lalu, nanti akan disuntik lagi Rp50 miliar, mungkin pada pertengahan tahun ini. Untuk aset, sekarang Rp315 miliar per 31 Desember 2017. Aset kami targetkan naik 20 persen.
Bagaimana dengan laba?Laba kami minimum baik 25 persen dari tahun lalu sekitar Rp27 miliar. Tapi memang dengan spin off ini, biaya operasional akan meningkat sekitar tiga kali lipat. Karena dulu tidak ada direksi, tahun ini ada tiga direksi. Tentu biayanya akan besar, tapi dengan produksi kami harapkan bisa naik dua kali lipat, ya bisa menutup biaya.
(bir)