Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perdagangan menyebut masih ada ketidaksepakatan antara delegasi kedua negara terkait Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA CEPA). Ketidaksepakatan menyangkut fiskal kedua negara.
Ketua Delegasi Indonesia di dalam perundingan IA CEPA Deddy Saleh mengatakan, Australia masih meminta pembebasan bea impor untuk beberapa komoditas yang saat ini masih dikaji oleh pemerintah.
Keinginan Australia itu sejalan dengan konsep power house yang rencananya akan efektif selepas IA CEPA ini berlangsung, di mana impor komoditas asal Australia bisa diolah lagi oleh industri Indonesia dan produknya akan dipasarkan ke negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak kesepakatan yang disepakati utamanya di tax agreement. Namun, ada juga yang belum disepakati. Di akses pasar, banyak sticky point yang Indonesia belum bisa memberikan (fasilitas bea impor ke Australia)," ujarnya, Senin (2/10).
Lebih lanjut ia menjelaskan, beberapa komoditas asal Australia yang ingin dibebaskan bea impornya, yakni sapi dan susu skim. Khusus untuk produk tersebut, Australia ingin Indonesia mengolah susu skim menjadi susu kental manis yang kemudian bisa dipasarkan ke negara lain.
Namun, menurutnya, kemungkinan tersebut akan dikaji lagi di dalam putaran kesembilan dari negsoiasi IA CEPA ini.
"Skim milk dari Australia ini kan dikenakan bea masuk 4 persen. Lalu, mereka minta jadi nol. Bahan baku ini bisa dijadikan susu kental manis dan bisa diekspor agar lebih murah. Ada lagi, mereka minta bahan baku besi baja ini turun juga bea masuknya, namun kami masih pelajari," imbuhnya.
Deddy menilai, usulan tersebut bisa saja dikabulkan Indonesia, dengan catatan Australia juga memberikan kelonggaran fiskal bagi ekspor komoditas Indonesia.
Ia menyebut, Indonesia ingin agar Australia membebaskan bea masuk bagi produk tekstil dan sepatu. Bahkan, dalam waktu dekat, pemerintah Australia juga akan menyetujui pembebasan bea masuk impor bagi produk otomotif asal Indonesia.
Model seperti ini, sambung dia, juga telah diterapkan di kesepakatan sebelumnya, di mana Indonesia menurunkan bea masuk gula mentah asal Australia dari 8 persen menjadi 5 persen. Sebagai timbal balik, negara kangguru itu membebaskan bea masuk impor produk herbisida dan pestisida asal Indonesia.
"Kami meminta untuk meningkatkan akses ke sana. Memang, perdagangan ke Australia meningkat, tapi masih defisit," ungkap Deddy.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menerangkan, negosiasi IA CEPA harus disusun berdasarkan win-win solution, sehingga pemerintah harus berani menolak permintaan Australia.
Salah satu permintaan Australia dalam IA CEPA yang tidak dipenuhi Indonesia adalah terkait pembukaan akses pasar bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) Australia ke dalam negeri.
"Mereka tentu meminta atau call mereka tinggi, tapi kami belum siap untuk semua sektor dibuka lebar. Tetap, kami harus realistis dan pragmatis," terang dia.
Sekadar informasi, perundingan IA CEPA sudah memasuki putaran kesembilan dan merupakan dua putaran terakhir sebelum ditarget rampung tahun ini. Adapun perundingan ini telah dimulai sejak 2013 silam.
Menurut data Kemendag, ekspor non-migas Indonesia ke Australia tercatat US$1,08 miliar antara bulan Januari hingga Juli 2017. Di sisi lain, impor non-migas asal Australia tercatat US$2,93 miliar. Artinya, Indonesia masih defisit dagang sebesar US$1,85 miliar dengan negara tersebut.