Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sependapat menilai pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS selama sepekan terakhir merupakan imbas dari kondisi ekonomi global.
Nilai tukar rupiah melemah 34 poin atau 0,25 persen ke level Rp13.574 per dolar pada Selasa (3/10) pagi, meski kembali menguat tipis ke level Rp13.557 per dolar pada pertengahan siang tadi.
Sejak 20 September kemarin, kurs rupiah tercatat melemah 0,22 persen. Di saat yang bersamaan, kurs mata uang negara-negara Asia juga mengalami hal serupa. Sebut saja Rupee India melemah 0,4 persen, Yen Jepang melesu 0,33 persen, bahkan Dollar Singapura terdepresiasi 0,32 persen, dan Renminbi China melemah 0,24 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan depresiasi rupiah dipicu oleh sentimen negatif dari kondisi ekonomi AS.
"Mungkin ada kaitannya dengan AS yang mau menaikkan tingkat suku bunganya, tapi memang beberapa negara juga melemah mata uangnya," ujar Darmin.
Senada dengan Darmin, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, pelemahan ini didukung oleh beberapa faktor. Pertama, kebijakan reformasi pajak Presiden AS Donald Trump dianggap sukses memberi sentimen positif bagi penguatan dolar AS.
Trump mengajukan proposal baru terkait penurunan pajak AS. Meski belum disetujui, kebijakan itu dinilai bisa memulihkan ekonomi AS lebih cepat sehingga suku bunga acuan AS berpotensi naik Desember mendatang.
“Kalau suku bunga naiknya lebih cepat, maka nilai Dollar bisa lebih menarik lagi,” terang Mirza, Selasa (3/10).
Faktor kedua, sentimen datang dari Gubernur Federal Reserve Janet Yellen yang memberi sinyal positif kenaikan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) ketiga pada tahun ini.
Terakhir, adanya isu pergantian Gubernur The Fed. Ada potensi kuat jika pengganti Yellen merupakan sosok yang lebih militan dan siap menerapkan kebijakan pengetatan moneter.
“Hal-hal seperti ini oleh pasar keuangan dijadikan topik dalam 10 hari terakhir,” katanya.
Meski demikian, pelemahan nilai tukar bisa diantisipasi dengan fundamental ekonomi yang mumpuni. Untungnya, kata Mirza, kondisi makroekonomi seperti inflasi, neraca pembayaran, dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun mendatang membaik.
Sekadar informasi, neraca pembayaran Indonesia diprediksi surplus US$7 miliar di tahun ini. Sementara itu, dengan inflasi
year-to-date sebesar 2,26 persen, maka inflasi hingga akhir tahun diprediksi masih dalam rentang 4 plus minus 1 persen.
Pada tahun depan, pihaknya juga memproyeksi surplus hingga US$6 miliar sepanjang 2018, itupun perkiraan dalam level konservatif.
“Angka inflasi terjaga dengan baik. Pada akhirnya, ini kembali ke fundamental masing-masing, dan ekonomi kami baik-baik saja,” tuturnya.
Menurut data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), saat ini nilai tukar tercatat di angka Rp13.582 per Dollar AS. Angka ini menurun dibanding pekan sebelumnya Rp13.348 per Dollar AS.