Sri Mulyani Buka Suara soal Surat 'Kecemasan Utang PLN'

CNN Indonesia
Rabu, 04 Okt 2017 20:11 WIB
Menurut Sri Mulyani, rasio utang terhadap pendapatan PLN (DSR) tidak mencapai 1 atau kondisi di mana penerimaan perusahaan bisa membayar seluruh utangnya.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, rasio utang terhadap pendapatan PLN (DSR) tidak mencapai 1 atau kondisi di mana penerimaan perusahaan bisa membayar seluruh utangnya. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara terkait suratnya kepada Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignatius Jonan yang menyebut bahwa PT PLN memiliki potensi gagal bayar utang di masa depan. Menurutnya, surat itu dikirim murni karena pihaknya melihat rasio utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) PLN tidak sesuai dengan perjanjian utang (covenant).

Sri Mulyani bilang, PLN memiliki utang dengan covenant berbasis DSR sebesar Rp40 triliun. Adapun, sebanyak 25 persen dari utang tersebut dijamin oleh pemerintah.

Pemerintah melihat bahwa angka DSR PLN saat ini tidak mencapai 1 atau kondisi di mana penerimaan perusahaan bisa membayar seluruh utangnya. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Kementerian Keuangan, rasio DSR PLN sepanjang 2017 bahkan hanya mencapai 0,71.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, covenant yang ditandatangani PLN mengharuskan bahwa DSR berada di angka 1,5. Dengan demikian, ketika rasio DSR PLN berada dibawah 1,5, maka PLN meminta pemerintah untuk menerbitkan waiver, atau surat yang ditujukan kepada peminjam untuk mengkaji kembali perjanjian utang tersebut.

"Kami lihat di tahun 2017, mereka kondisinya (DSR) di bawah 1, makanya kami tulis surat itu. Sebagian (munculnya angka DSR) itu adalah domain korporat PLN, tapi sebagian adalah karena policy pemerintah, maka surat itu ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ujar Sri Mulyani di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (4/10).

Lebih lanjut, kekhawatiran itu ia utarakan mengingat PLN tengah menerima penugasan megaproyek 35 ribu Megawatt (MW). Untuk itu, dibutuhkan neraca keuangan yang kuat untuk melakukan tugas tersebut.

"Sesuai dengan tugas dari kami sebagai pengelola keuangan negara dan bagian dari memonitor risiko, kami tahu bahwa PLN memiliki penugasan yang sangat penting," lanjut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.


Sebagai tindak lanjut, Sri Mulyani sudah melakukan koordinasi dengan Ignasius Jonan selaku Menteri ESDM dan Rini Soemarno selaku Menteri BUMN. "Ke depan, kami akan terus memonitor keuangan PLN," pungkasnya.

Sebelumnya, di dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 yang diterbitkan 19 September 2017 silam, Sri Mulyani menyoroti potensi gagal bayar PLN akibat proyeksi utang jatuh tempo yang semakin meningkat dan diiringi dengan performa keuangan yang melemah. Mengutip laporan keuangan PLN per semester I 2017, laba PLN terbilang anjlok 71,64 persen dari Rp7,97 triliun di tahun lalu ke angka Rp2,26 triliun akibat tarif listrik yang tidak naik di tengah meroketnya harga energi primer.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir menyebut, rasio keuangan perusahaan masih mumpuni. Sebab, mengacu pada total aset dan liablitas perusahaan saat ini, batas maksimum pinjaman bisa lebih tinggi dibanding realisasi utang saat ini.

Ia berkisah, aset perusahaan sudah diungkit melalui revaluasi aset tepat setelah program 35 ribu Megawatt (MW) ini dicanangkan. Hasilnya, ekuitas PLN naik sebesar Rp900 triliun, dan digadang sebagai kenaikan ekuitas korporasi terbesar di Indonesia. Hal itu pun membuat aset PLN per semester I kemarin tercatat di angka Rp1.302 triliun. Ini pun, lanjutnya, bisa memperbaiki rasio utang terhadap modal (Debt-to-Equity Ratio)

Dengan aset yang besar, Sofyan menilai, PLN masih bisa melakukan pembiayaan maksimal sebesar Rp2 ribu triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding posisi liabilitas perusahaan hingga paruh tahun ekmarin di angka Rp420,5 triliun.

"Dengan syarat perjanjian utang (covenant) berbentuk rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio) maksimal 3 kali, kami sebetulnya bisa memaksimalkan utang hingga Rp2 ribu triliun. Kami paham betul, karena kami sudah 34 tahun bergerak di bidang itu (keuangan)," jelas Sofyan akhir pekan lalu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER