Jokowi 'Kalahkan' Duterte soal Tata Kelola Pertambangan

CNN Indonesia
Minggu, 22 Okt 2017 01:21 WIB
Resource Governance Index 2017 menempatkan Indonesia meraih peringkat ke-11 dalam pengelolaan sektor pertambangan dari total 81 negara.
Ilustrasi tambang tembaga. (Foto: REUTERS/Ivan Alvarado)
Jakarta, CNN Indonesia -- Resource Governance Index (RGI) 2017 menempatkan Indonesia di peringkat ke-11 dalam pengelolaan sektor pertambangan dari total 81 negara, meninggalkan Filipina dan Malaysia.

RGI merupakan indeks yang mengukur bagaimana 81 negara yang kaya sumber daya alam menata sumber migas dan mineral mereka. Sejumlah komponen penting dalam indeks itu adalah realisasi nilai yang meliputi tata kelola produksi, perlindungan lingkungan hingga BUMN.

Lainnya adalah pengelolaan pendapatan dari sektor tambang yang meliputi anggaran negara, pembagian pendapatan di tingkat daerah hingga sovereign wealth fund.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RGI dikeluarkan oleh Natural Resource Governance Instititue (NRGI), organisasi yang melakukan riset dan advokasi soal tata kelola sektor migas dan mineral yang berbasis di AS. Skor tertinggi adalah 100 dan Indonesia mendapatkan skor 68 yakni memuaskan.


“Industri tambang Indonesia memiliki kinerja baik dalam pengelolaan pendapatan,” demikian NRGI dalam kesimpulan riset tentang Indonesia, Sabtu (21/10). “Pemerintah membuka anggaran negara, pendapatan dan belanja.”

NRGI menilai pemerintah Indonesia telah mengikuti aturan fiskal terkait dengan pembatasan defisit 3 persen dari GDP. Skor 68 itu membuat Indonesia menempati peringkat ke-11, mengalahkan negara tetangga Filipina (rangking 21) dan Malaysia (rangking 27).

Filipina dipimpin oleh Presiden Rodrigo Duterte, sedangkan Malaysia dipimpin oleh Perdana Menteri Najib Razak. 

Walaupun demikian, NRGI menyatakan fokus tata kelola itu hanya pada tambang tembaga. Indonesia sendiri merupakan negara terbesar ke-8 dalam cadangan komoditas itu hingga 25 juta metrik ton.

Di sisi lain, tata kelola yang lemah meliputi dampak lokal karena ada jurang antara peraturan dan praktik di lapangan. Di antaranya adalah soal penilaian dampak lingkungan, rencana mitigasi atau kepatuhan dengan prosedur rehabilitasi.

Pengendali Utama Perusahaan

Tata kelola sektor ekstraktif juga dinilai penting terkait dengan upaya pemberantasan korupsi hingga pengungkapan pengendali utama perusahaan. Sejumlah riset menyatakan sektor itu kerap diduga tak membayar pajak namun menyimpan uangnya di surga pajak.

Penasihat Senior Bappenas Diani Sadia Wati menuturkan pemerintah sudah menyiapkan peta jalan soal Beneficial Ownership—pengendali utama perusahaan, terkait dengan tata kelola sektor ekstraktif.


“Indonesia memiliki komitmen kuat terkait dengan Benefical Ownership, di antaranya melalui Auto Exchange of Information,” kata Diani dalam lokakarya Advancing Transparency and Anti-Corruption Movement in the Governance of Asia’s Natural Resources, kemarin.

Oleh karena itu, dia menekankan kerja sama antara pemerintah dan organisasi sipil menjadi penting dalam rangka pengungkapan pengendali utama perusahaan.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan pertemuan kali ini merupakan kesempatan bagi negara Asia Pasifik untuk melihat sudah sejauh mana upaya dalam gerakan anti-korupsi.


Lokakarya itu dihadiri sekitar 80 orang yang terdiri dari peneliti, aktivis hingga wartawan dari kawasan Asia Pasifik.

“Ini adalah kesempatan bagi negara-negara Asia Pasifik untuk melihat sejauh mana upaya dalam gerakan anti-korupsi,” tegasnya.

Soal tata kelola tambang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pemantauan sektor mineral dan batu bara dalam rangka pencegahan korupsi sejak 2011.

Lembaga anti-korupsi itu menyatakan masih terdapat ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah alias berstatus non Clean and Clear, namun tak dicabut oleh pemerintah daerah. 

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER