Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan sektor minyak dan gas milik milik Pemerintah Thailand, PTT Exploration and Production Public (PTTEP) Company Limited, mengaku mengalami kendala investasi dan operasional akibat isu pencemaran kilang minyak di Laut Timor Indonesia yang tak juga rampung.
Titi Thongjen, General Manager PTTEP Malunda Limited and PTTEP South Mandar Limited yang berkedudukan di Indonesia menyebutkan, pihaknya menemukan potensi 20 proyek pengelolaan Migas di Indonesia pada 2016. Sayangnya, proyek itu tak dapat dieksekusi sampai kasus dugaan pencemaran lingkungan yang kini bergulir di pengadilan selesai.
"Tahun lalu, kami sudah menemukan 20 proyek tahun lalu. Saya harap jika kasus ini selesai, potensi proyek tidak berubah sehingga kami masih bisa mendapatkannya," ujarnya saat berkunjung ke Kantor CNNIndonesia, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui anak usahanya, PTTEP Australasia, perusahaan menjalankan bisnis di wilayah operasional Lapangan Minyak Montara, tepatnya di Laut Timor yang berada di antara perairan Indonesia dan Australia.
Pada 2009, wilayah operasi di Montara meledak hingga mengakibatkan minyak tumpah dan mengalir ke Laut Timor. Hal itu dianggap menimbulkan kerugian lingkungan bagi sejumlah pihak, seperti nelayan, petani rumput laut, dan pemerintah Indonesia.
Melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, saat ini pemerintah menggugat PTTEP atas peristiwa tersebut.
Dalam pemberitaan media, pemerintah berencana mengajukan gugatan ganti rugi hingga Rp27,4 triliun terhadap PTTEP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Agustus 2017. Nilai gugatan ganti rugi terdiri dari kerugian atas kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan.
Di sisi lain, PTTEP meyakini ledakan Montara tak mengakibatkan kerusakan bagi Indonesia. Menurut perusahaan pelat merah asal Gajah Putih itu, tak ada minyak yang mencapai pantai Indonesia.
Thongjen mengungkapkan, perusahaan tak dapat menyalurkan investasi selama kurun empat tahun terakhir. Alhasil, kas internal PTTEP berlimpah hingga US$4 miliar sampai kuartal III 2017. Sebagai perusahaan aktif, kondisi itu dianggap tak sehat bagi kinerja keuangan.
"Kas kami terus berlimpah setiap tahun karena tak bisa berinvestasi. Ini tidak baik bagi perusahaan terbuka, seharusnya dana digerakkan untuk usaha untuk bisa memperoleh laba," tuturnya.
Saat ini, perusahaan hanya menggunakan dana investasi untuk melakukan penelitian berdasarkan basis data dan mencari wilayah eksplorasi potensial di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
"Kami menghabiskan waktu sekitar satu tahun untuk mengetahui prospek yang ada dalam setiap area. Indonesia masih memiliki sumber daya alam, hanya memerlukan operator yang tepat untuk mengelola wilayah eksplorasi," katanya.
PTTEP tercatat memiliki total aset mencapai US$18,9 miliar. Berdasarkan nilai aset per wilayah, Thailand memiliki porsi terbesar yakni 58,9 persen, wilayah Asia 17,3 persen, Afrika 14,8 persen, Australasia 4,6 persen, dan Amerika 4,4 persen.
Menurut jumlah proyek, PTTEP memiliki 37 proyek operasi di 10 negara. Secara rinci disebutkan, wilayah Thailand terdapat 15 produksi dan satu eksplorasi, di Asia Tenggara terdapat enam produksi, dan delapan wilayah eksplorasi yang berasal dari Myanmar, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia.
Di Afrika terdapat satu produksi dan dua eksplorasi, di Amerika terdapat dua wilayah eksplorasi. Sisanya, di Australasia hanya satu produksi.
(lav/asa)