ANALISIS

Jangan Miris Meski Surplus Perdagangan Kian Tipis

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 20 Des 2017 13:50 WIB
Kendati menghadapi tren penurunan menjelang akhir tahun ini, masih ada harapan surplus neraca pedagangan akan membaik pada tahun depan.
Kendati menghadapi tren penurunan menjelang akhir tahun ini, masih ada harapan surplus neraca pedagangan akan membaik pada tahun depan. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kinerja ekspor Indonesia terbilang gemilang sepanjang tahun ini. Dengan perolehan angka US$141,88 miliar antara Januari hingga November, ekspor Indonesia tumbuh di angka 15,47 persen. Adapun, pertumbuhan ini terbilang membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2016 yang minus 5,63 persen dan tahun 2015 yang bahkan sempat minus 14,32 persen.

Dengan pertumbuhan yang cemerlang, tentu saja surplus neraca perdagangan yang ditorehkan sepanjang tahun ini juga mengilap. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus yang dikantongi Indonesia sepanjang tahun 2017 ada di angka US$12,02 miliar, di mana raihan ini juga merupakan yang tertinggi setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Gencarnya ekspor ini juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III kemarin yang menyentuh 5,06 persen. Namun, ada kecemasan bahwa momentum ini tak bisa terjaga hingga tahun depan karena tren surplus bulanan menjelang akhir tahun 2017 kian menipis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masih berdasarkan data yang sama, surplus neraca perdagangan tercatat di atas US$1 miliar sejak bulan Januari hingga April. Kemudian, angka surplus turun ke angka US$580 juta di bulan Mei dan sempat defisit singkat di bulan Juli sebelum akhirnya memuncak di bulan September dengan angka US$1,78 miliar.

Sayang, surplus neraca perdagangan kian melandai setelah itu, di mana angkanya tercatat US$900 juta di bulan Oktober dan US$130 juta di bulan November.
Tak Boleh Miris Meski Surplus Perdagangan Kian TipisNeraca Perdagangan Indonesia Januari-November. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, menipisnya surplus ini merupakan imbas dari semakin tingginya nilai impor. Sebagai gambaran, impor Indonesia meningkat tajam dari Juni 2017 sebesar US$9,99 miliar ke angka US$15,15 miliar di bulan November. Dengan kata lain, impor Indonesia naik 51,65 persen dalam waktu lima bulan saja.

Kenaikan impor ini datang dari sisi minyak dan gas bumi, mengingat harganya semakin naik dalam setahun belakangan. Namun di sisi lain, pertumbuhan impor juga disebabkan oleh kenaikan permintaan barang modal.

Berbekal data tersebut, Suhariyanto yakin, tingginya impor barang modal ini bisa menopang investasi dan berdampak pada pertumbuhan Pembentuk Modal Tetap Bruto (PMTB).

"Tapi, penurunan surplus ini tentu saja harus menjadi perhatian pemerintah," kata Suhariyanto.

Selain itu, ada potensi kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia juga tidak semakin baik tahun depan. Bukan karena impor, tapi tekanan terhadap ekspor akan semakin tertekan dari sisi kondisi perekonomian global.

Chief Economist Bank Dunia Frederico Gil Sanders mengatakan, perlambatan ekonomi China mungkin akan mempengaruhi kineja pengiriman barang dari Indonesia. Apalagi, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai US$19,13 miliar atau 13,69 persen dari total ekspor Indonesia selama Januari hingga November 2017.

Kondisi Amerika Serikat juga memberikan persoalan lain. Kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump juga akan memukul ekspor dari Indonesia. Padahal, AS merupakan pangsa pasar terbesar ekspor kedua setelah China dengan porsi 11,25 persen dari total ekspor non-migas antara Januari hingga November

Tak cukup sampai situ, harga komoditas unggulan Indonesia pun diperkirakan tak secemerlang tahun kemarin. Adapun, Bank Dunia memprediksi bahwa harga batu bara akan jatuh ke angka US$70 per metrik ton di tahun depan dari rata-rata posisi saat ini US$85 per metrik ton. Hal yang sama juga terjadi bagi komoditas logam dasar. Namun, harga minyak kelapa sawit dan karet diprediksi akan kinclong tahun depan.

Atas pertimbangan tersebut, Bank Dunia malah memprediksi kinerja ekspor akan bertumbuh 6 persen secara tahunan, atau lebih kecil dibanding prediksi akhir tahun 2017 sebesar 10 persen. “Kalau China terus mengalami deselerasi, dampak ke ekspor dan impor akan signifikan,” terang Frederico.

Kalau sudah begini, kontribusi ekspor bersih (netto) terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan dengan target 4,2 persen bisa terganjal. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kontribusi net ekspor tahun depan diperkirakan masih sulit untuk menyokong Produk Domestik Bruto (PDB).

Pemerintah pun menurut Bhima, masih harus bertumpu pada belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga tahun depan, utamanya 40 persen golongan masyarakat berpendapatan bawah Indonesia.

Meski demikian, masih ada harapan bahwa surplus neraca perdagangan bisa membaik kembali di tahun depan. Bhima menjelaskan, susutnya surplus di bulan November merupakan siklus tahunan, di mana impor konsumsi dan bahan baku produksi melonjak sebagai antisipasi Natal dan Tahun Baru.

"Ini adalah siklus yang hanya temporer November dan Desember. Kalau melihat tren positif dari harga komoditas, minyak mentah harganya US$64 per barel. Batu bara dan kelapa sawit juga demikian. Kalau berlanjut, surplus neraca perdagangan di kuartal I 2018 bisa naik lagi, mungkin bisa kembali tembus US$1 miliar per bulan,” ungkap Bhima.

Di samping itu, Bhima mengatakan bahwa pemerintah tak perlu risau akan surplus neraca perdagangan yang kian tergerus. Pasalnya, masih ada langkah mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah.

Ia menyebut, Indonesia harus mengurangi ketergantungan akan ekspor komoditas dan beralih ke ekspor produk dengan nilai tambah yang tinggi. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu menggiatkan diversifikasi pangsa pasar ekspor agar kondisi internal suatu negara tak berdampak banyak ke Indonesia.

Menurutnya, masih banyak negara yang belum dijelajahi Indonesia, seperti Afrika Selatan, Nigeria, hingga Qatar yang dianggap cukup potensial. Ia juga bilang, Indonesia seharusnya juga menggarap Pakistan yang merupakan gebang utama menuju negara-negara Timur Tengah.

“Maka dari itu, Indonesia harus teliti. Kami harap, seluruh atase perdagangan di negara-negara tersebut bisa menangkap peluang agar diversifikasi pasar tak semakin lambat,” paparnya.

Tak hanya itu, masalah kestabilan nilai tukar Rupiah juga dianggap perlu menjadi perhatian. Jika nilai rupiah terlalu kuat, menurut dia, akan berdampak pada penurunan ekspor. Sebaliknya, jika nilai tukar Rupiah terlalu lemah, kinerja impor yang bisa kena getahnya.

“Sekarang menjaga nilai tukar di angka Rp13.500 per Dolar AS. Impor diharapkan bisa lebih murah dan ekspor bisa cukup kompetitif,” pungkas dia. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER