Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berdenominasi dolar yang mendukung pelaksanaan proyek ramah lingkungan atau dikenal dengan global green sukuk pada 2018.
Jika terealisasi, Indonesia bakal menjadi negara pertama yang menerbitkan green sukuk berdenominasi dolar pertama di dunia. Sebelumnya, Malaysia telah menerbitkan green sukuk namun dalam mata uang ringgit.
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suminto mengungkapkan, raupan pendanaan dari global green sukuk bisa saja tidak seluruhnya digunakan untuk proyek berbasis lingkungan.
Namun, dalam penerbitannya, pemerintah akan memenuhi komitmen pengerjaan proyek hijau yang nilainya minimal sama dengan nilai sukuk hijau tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan berkomitmen dan menunjukkan bukti bahwa telah mengerjakan proyek hijau setidak-tidaknya setara dengan nilai penerbitannya (global green sukuk) itu," ujar Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto di Gedung Dhanapala, Jumat (22/12).
Sayangnya, Suminto tak menyebutkan berapa nilai sukuk yang akan ditawarkan kepada investor. Sebagai catatan, tahun ini pemerintah telah menerbitkan sukuk global senilai US$3 miliar. Adapun investornya berasal dari berbagai negara di Tengah Tengah, Eropa, Asia, dan Amerika.
Suminto mengungkapkan, selain sebagai instrumen untuk menutup defisit negara, penerbitan green sukuk juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjalankan Kesepakatan Iklim Paris. Tak hanya itu, instrumen green sukuk juga bisa memperluas basis investor dan mengembangkan pasar sukuk.
Terkait jumlah proyek yang akan dibiayai nantinya akan ditentukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.
Investor Eropa Jadi Target
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengungkapkan, instrumen green sukuk bisa menarik investor dari Eropa yang memang menaruh minat pada proyek ramah lingkungan. Berbeda dengan investor domestik yang lebih mementingkan besarnya imbalan.
"Sukuk hijau bisa saja menjadi pemanis bagi instrumen sukuk yang dijual pemerintah. Mungkin bisa dijual ke investor Eropa yang memperhatikan masalah lingkungan," ujar Lana.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menambahkan, pemerintah perlu memastikan agar proyek-proyek yang terkait green sukuk terealisasi untuk menjaga kepercayaan investor ke depan.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan tambahan insentif bagi investor mengingat pasar sukuk global sendiri masih terbatas.
"Pasar sukuk kan masih belum terlalu besar. Jadi, pemerintah mungkin perlu menambah tambahan imbalan meskipun investor-investor asing sudah banyak menaruh perhatian pada proyek yang ramah lingkungan," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Josua, kenaikan rating kredit Indonesia yang telah diberikan oleh Standard and Poor's dan Fitch's tahun ini berpotensi menurunkan imbal hasil yang dibayarkan obligasi syariah negara tahun depan.
Sebagai informasi, pemerintah tahun ini menargetkan penerbitan SBN bruto sebesar Rp 846,4 triliun. Penerbitan itu, terdiri dari penerbitan SBN domestik sebesar Rp582,1 triliun, SBN valas Rp145,3 triliun, dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar Rp119 triliun.
(lav)