Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio pembiayaan bermasalah (
nonperforming finance/NPF) industri perusahaan pembiayaan (multifinance) turun menjadi 2,96 persen pada tahun lalu dibandingkan dengan akhir 2016 lalu yang mencapai 3,26 persen.
Sejalan dengan industri, PT Astra Sedaya Finance (ASF), salah satu perusahaan pembiayaan kelompok usaha Astra International juga sukses menekan NPF pada akhir tahun lalu di level 0,62 persen setelah sempat meroket ke level 0,88 persen pada semester I 2017.
Selidik punya selidik, ternyata sikap agresif perusahaan dalam menggenjot penyaluran pembiayaan pada 2016 lah yang membawa musibah pada semester pertama 2017. Sebagian nasabah mulai menunggak untuk membayar utang. Walhasil, pembiayaan macet membengkak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kondisi ini, manajemen mengambil sikap tegas dengan menyeleksi ketat calon nasabah dan membagi kelas atau level dari penagih utang (
debt collector) yang bertugas mengingatkan hingga menarik mobil nasabah yang menunggak pembayaran utang.
Tak mau mengulang kisah yang sama, manajemen ASF berjanji bakal menjaga tingkat NPF tahun ini di level 0,5 persen hingga 0,6 persen. Hal ini sekaligus diharapkan bisa membuat biaya hapus buku nasabah turun.
Selain itu, manajemen akan berusaha untuk menaikan penyaluran pembiayaan tahun ini agar dapat tumbuh minimal lima persen. Masalahnya, total penyaluran pembiayaan ASF akhir tahun lalu tercatat turun 0,72 persen.
Lantas, apakah kondisi ekonomi tahun ini mendukung seluruh target perusahaan tersebut? Terlebih, kondisi politik Indonesia di mana akan ada 171 pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bakal menjadi tantangan bagi ekonomi dalam negeri.
Untuk menjawab hal tersebut, CNNIndonesia.com melakukan wawancara langsung dengan Direktur Utama ASF Jodjana Jody. Berikut petikan wawancaranya:
 Direktur Utama PT Astra Sedaya Finance (ASF) Jodjana Jody mengatakan, akan menjaga tingkat rasio pembiayaan bermasalah (NPF) tahun ini di level 0,5 persen hingga 0,6 persen. (Dok. ASF). |
NPF perusahaan sempat tinggi pada semester I 2017, apa yang menjadi penyebab tingginya level NPF tersebut? Ini terjadi karena kami prediksikan tahun 2017 lebih bagus. Kami prediksi dalam tiga tahun, yaitu 2016, 2017, dan 2018. Kami berpikir Pilkada akan aman dan pertumbuhan ekonomi akan kencang. Makanya, kami
nge-gas. Lihatlah, tahun 2015 total penyaluran pembiayaan kami Rp21,8 triliun, tapi tahun 2016 langsung Rp27,5 triliun, dan tahun 2017 menjadi Rp27,3 triliun.
Bayangkan dari Rp21,8 triliun langsung ke Rp27 triliun. Jadi, secara penyaluran pembiayaan bagus, tapi ternyata kemudian pada tahun selanjutnya di 2017 semester I kami panen masalah. Setelah kami melihat itu, semester II 2017 kami langsung kunci supaya hanya nasabah yang sehat yang masuk.
Jadi, seleksi nasabah itu yang akhirnya menurunkan NPF pada akhir tahun 2017? Iya. Jadi strategi dua, depan dan belakang. Di depan itu kami seleksi down payment (uang muka/DP) yang lebih baik. Tidak ada lagi DP DP yang rendah. Kemudian, nasabah yang ragu-ragu kami survei agak ketat dan nasabah itu harus datang ke kantor agar bisa kami verifikasi betul. Intinya lebih ketat.
Kemudian, yang di belakang, kami punya karyawan sebanyak 4.700 orang. Setengah dari karyawan itu adalah
debt collector. Levelnya dibagi-bagi, misalnya sampai hari pertama sampai tujuh hari tidak bayar masih diperingatkan oleh call center. Kemudian, tidak bayar juga, hari ke delapan sampai ke 30 nanti sudah ada junior
debt collector yang akan mengunjungi konsumen dan memberi peringatan pertama lah disebutnya.
Jika tidak bayar juga, maka akan masuk ke level yang tinggi lagi, yaitu hari ke-30 sampai 60, kemudian hari ke 60 sampai 90, hari ke 90 sampai 120, 120 sampai 150. Semakin tinggi levelnya kemampuan semakin berbeda, mungkin level pertama hanya bisa mengimbau, tapi makin tinggi sudah bisa evakuasi atau menarik mobil.
Tapi di sisi lain, apakah seleksi ketat nasabah ini berdampak pada penyaluran pembiayaan perusahaan di tahun lalu? Tahun 2017 memang kami tidak menargetkan pertumbuhan karena makro ekonomi kurang baik, sehingga banyak sekali orang yang tidak percaya untuk mengeluarkan dananya, untuk berbelanja barang mewah. Selain itu, juga banyak persoalan pajak. Jadi, konsumen mau belanja takut-takut.
Kami bukan menargetkan penambahan penyaluran pembiayaan, tapi kualitas dari penyaluran pembiayaan tersebut. Jadi, saya sama tim melihat dengan ekonomi yang tidak baik, kami tidak boleh
nge-gas.
Dengan tingginya NPF, berapa total dana yang digelontorkan perusahaan untuk biaya hapus buku? Angkanya naik dari 2016 lalu yang hanya Rp870 miliar menjadi Rp1 triliun di 2017. Jadi, nasabah yang sudah menunggak selama 90 hari sudah masuk NPF, sementara hapus buku ini jika sudah masuk 150 hari.
Tapi tahun lalu keuntungan kami Rp1,1 triliun, tumbuh dari tahun 2016 yang sebesar Rp1,06 triliun. Rasanya dengan masih membukukan pertumbuhan keuntungan ini, keputusan kami untuk hapus buku bukan tindakan yang salah. Hapus buku ini kami lakukan karena pada 2016 kami sangat agresif, jadi ada masalah.
Berapa dana cadangan yang biasanya disiapkan oleh perusahaan untuk biaya hapus buku setiap tahun? Biasanya, dana cadangan empat persen dari total penyaluran pembiayaan per nasabah. Dana cadangan kami memang tinggi, karena kami sangat hati-hati. Di manajemen kami, kami maunya dana cadangan lebih tinggi dari potensi dana yang hilang.
Melihat kondisi tahun lalu, apakah perusahaan akan menjaga level NPF di kisaran 0,6 persen pada 2018? Kami cukup senang dengan angka 0,55 persen sampai 0,6 persen. Itu angka yang menurut kami sudah cukup baik.
Apa strategi perusahaan untuk menjaga NPF di kisaran tersebut? Kami akan melanjutkan strategi penurunan NPF. Jadi, kami akan sangat hati-hati, ikuti perkembangan pasar, mana pasar yang sedang tumbuh secara jangka panjang dan hanya sementara. Contohnya, tahun lalu pasar penjualan truk naik 33 persen, tapi ini truk kan untuk usaha. Kami juga melihat nantinya bidang usahanya apa.
Misalnya, nasabah beli untuk usaha pertambangan, kami lihat dulu dia pemain baru atau pemain lama. Kalau pemain lama mungkin tidak akan bermasalah, tapi kalau pemain baru yang memanfaatkan harga minyak dunia dan batu bara yang lagi naik kami akan
reject (tolak). Jadi, seleksi
Know Your Customer (KYC) sangat penting.
Artinya, apakah biaya penghapusan buku juga akan turun jika NPF terjaga atau justru turun? Kami sebenarnya ingin mengembalikan biaya hapus buku ke kisaran Rp800 miliar, jadi itu targetnya. Saya yakin pasti bisa karena tahun lalu pemberian pembiayaan sudah sangat hati-hati. Biasanya dampaknya satu tahun setelahnya, jadi tahun ini dengan disiplin kerja seperti tahun lalu akan turun.
Jika tercapai, apakah perusahaan akan mengurangi dana cadangan tahun ini? Tetap empat persen dari total penyaluran pembiayaan ke satu nasabah, tapi tetap kami lihat kalau memang NPF dan hapus buku turun, maka akan kami sesuaikan dana cadangannya karena kalau dana cadangan terlalu banyak juga tidak bagus.
Jadi, rentangnya 3,25 persen dan paling tinggi empat persen. Sekarang ini ekonomi masih belum baik, kami masih empat persen dulu. Takutnya nanti tidak cukup. Kalau krisis tiba-tiba dan semua tidak bisa bayar, dana cadangan tidak cukup, jadi harus ambil dari laba ditahan kan.
Nah, modal bisa kena.
Tahun ini akan ada 171 pilkada serentak, apakah perusahaan masih pesimis dengan jumlah penyaluran pembiayaan? Saya berharap, pilkadanya sudah berubah seperti yang dikampanyekan pak Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jauh lebih baik dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta. Jadi, konsumsi akan naik. Kemudian, dengan pertumbuhan ekonomi dan bunga yang relatif rendah kami targetkan naik lima sampai 10 persen untuk penyaluran pembiayaan.
Kemudian NPF kami kan sudah turun di 0,62 persen, itu cukup rendah ya. Kami merasa jika NPF sudah cukup rendah ya tahun ini harus digenjot. Jadi, tahun ini merencanakan sedikit lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun lalu.
Bagaimana komposisi penyaluran pembiayaan per tahunnya? Macam-macam. Mobil itu hampir 75 persen mobil baru, mobil bekasnya 20 persen. Kemudian, lima persen ada campuran alat berat. Kami sebenarnya punya porsi yang sangat kecil untuk disebutkan, jadi ada investasi untuk properti. Perumahan yang sangat selektif untuk karyawan dan percobaan ke beberapa perusahaan properti, seperti PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), lalu properti yang PT Astra International Tbk (ASII) punya, kan ada beberapa.
Itu baru embrio ya, saya belum bisa bilang itu diversifikasi, kami coba karena dari
database (basis data) kami kan kami bertanya siapa konsumen kami. Konsumen kami itu kelas menengah. Orang kelas menengah itu perputaran hidupnya apa, setelah punya mobil ingin punya rumah, mungkin ingin renovasi rumah, mungkin juga ingin umrah, ingin sekolah lagi. Semua segmen itu kami sedang pelajari.
Selanjutnya, sebagai multifinance tentu pencarian dana akan dilakukan setiap tahun untuk modal penyaluran pembiayaan. Apakah perusahaan memiliki sumber yang sama setiap tahunnya? Kami cari dana kira-kira hampir Rp25 triliun, untuk total penyaluran pembiayaan sebesar Rp27 triliun sampai Rp30 triliun. Kami kan punya modal Rp6 triliun, jadi kan modal bisa dipakai. Setidaknya butuh Rp23 triliun sampai Rp25 triliun, nanti akan lihat berapa total pembiayaan dan berapa dari modal lalu kurangnya berapa.
Lalu dari tahun lalu kan kami masih ada standby loan, kan kami belum menggunakan. Nah, itu nanti dikurangi lalu akan menjadi acuan tahun ini mau butuh berapa. Dengan Rp25 triliun ini tentu kami bagi tiga sumber.
Pertama, obligasi.
Kedua, pinjaman di perbankan lokal, dan
ketiga, pinjaman dari bank luar negeri.
Jadi, tiga ini selalu diversifikasi supaya tidak mengacaukan kami punya pembiayaan. Kalau saya boleh bilang ini masing-masing porsinya sepertiga deh. Ini hanya
guidance (arahan), tapi yang paling penting diversifikasi dana.
Lalu, PUB III kami kan sudah selesai, kami akan keluarkan PUB IV. Paling tidak Februari mulai proses PUB baru, biasanya satu PUB baru angkanya bisa Rp8 triliun sampai Rp10 triliun, kan PUB waktunya selama dua tahun.
Kami sedang hitung berapa yang akan diprogramkan. Nanti dari program itu kami akan rilis PUB IV seri I berapa dan bulan apa. Ini harus kami atur bersama Astra International. Astra International banyak perusahaan pembiayaan. Jangan sampai tabrakan.
Bagaimana cara perusahaan mengelola kas internal untuk membayar utang per tahunnya? Pertama, kami tidak pernah refinancing. Berutang untuk membayar utang tidak pernah. Kami kan ada iuran dari nasabah paling tidak Rp2,5 triliun per bulan. Kalau sudah jatuh tempo bisa kami bayar. Modal kami juga masih cukup. Manajemen kami sudah terprogram per hari atau per bulan berapa dana yang harus masuk.
(bir)