YLKI Terima 60 Aduan Soal Perumahan di Tahun Lalu

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 30 Jan 2018 19:59 WIB
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima sebanyak 60 aduan masyarakat soal sektor perumahan sepanjang tahun lalu.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima sebanyak 60 aduan masyarakat soal sektor perumahan sepanjang tahun lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut, masalah ketidakjelasan proses pembangunan perumahan paling sering diadukan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.

Pengurus Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Abdul Basith mengatakan, lembaganya menerima sebanyak 60 aduan masyarakat soal sektor perumahan tahun lalu.

Dari jumlah tersebut, sekitar 23 persennya merupakan keluhan karena pembangunan perumahan tidak jelas dari sisi penyelesaian waktunya. Bahkan, ada beberapa aduan yang pembangunan belum sama sekali dilakukan pada kurun waktu tertentu, yang seharusnya sudah dijanjikan pengembang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Masalah lebih dominan karena misalnya dugaan pengembang kabur atau marketing (bagian pemasaran) kabur itu banyak," ujar Abdul kepada CNNIndonesia.com, Senin (29/1).


Alhasil, karena proses pembangunan tidak jelas, biasanya konsumen akan meminta pembatalan jual beli dan meminta uang dikembalikan. Namun, lagi-lagi hal ini menjadi masalah baru bagi konsumen.

Sebab, tak mudah meminta uang muka (down payment/DP) hingga pembayaran lunas pembelian rumah untuk dikembalikan. Hal ini lantaran pihak pengembang biasanya masih menyatakan bisa membangun perumahan, namun dengan waktu yang lebih ‘molor’.

“Tapi bagi konsumen kan daripada pembangunannya tidak jelas dan uangnya tidak bermanfaat, lebih baik dikembalikan saja, sehingga bisa gunakan uangnya untuk hal lain,” katanya.

Sayangnya, masalah pengembalian uang (refund) menjadi keluhan lain yang kerap diadukan masyarakat, yaitu mencapai 17 persen dari total aduan pada tahun lalu.

“Biasanya mereka keluhkan pengembalian, tapi tidak bisa 100 persen, hanya diberi 75 persen. Bahkan, ada yang justru hangus karena pengembang tidak jelas kemana,” terangnya.

Keluhan lain, sekitar 10 persen merupakan aduan soal terlambatnya serah terima rumah yang telah dibangun. Sisanya, merupakan campuran dari beberapa aduan.

Misalnya, kelengkapan dokumen yang berbeda dari yang dijanjikan, kualitas bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, kualitas fasilitas perumahan, hingga munculnya membengkaknya biaya-biaya lain, seperti untuk listrik, kebersihan, keamanan, dan lainnya.

“Secara keseluruhan, kamu belum telusuri lebih rinci, tapi kebanyakan aduan ini terjadi di Bekasi, Depok, dan Jakarta. Mungkin ada juga di Kalimantan dan Sumatera,” imbuhnya.

Abdul menjelaskan, bila ada aduan semacam ini, YLKI bisa turut mendampingi konsumen, misalnya sebagai saksi ahli apabila sampai ke ranah hukum. Namun, mengingat keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), YLKI biasanya lebih sering memberikan advokasi kepada kedua belah pihak.

Hanya saja, yang lebih penting memang antisipasi dari masyarakat sendiri, yaitu dengan cara tidak mudah termakan janji-janji iklan pemasaran dan lebih kritis terhadap pengembang.


“Misalnya, kalau dijanjikan harga sekian, itu masuk akal tidak? Kalau dijanjikan selesai 2018, tapi dari 2017 tidak ada pembangunan, masuk akal tidak? Lalu, tanya juga apa sudah ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB) belum?” jelasnya.

Khususnya untuk IMB, Abdul menekankan, hal ini menjadi pertimbangan penting sebelum membeli unit rumah. Sebab, sering kali pengembang gagal membangun rumah karena sebenarnya belum mengantongi IMB.

“Dari sisi pembayaran, jangan lupa pula untuk lebih memanfaatkan pembayaran dengan fasilitas bank, misalnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Ini bisa jadi salah satu antisipasi uangnya bisa kembali,” pungkasnya. (gir/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER