Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertanyakan efektivitas pemanfaatan dana otonomi khusus Papua setelah merebaknya gizi buruk dan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Kabupaten Asmat, Papua.
Ke depan, Kemenkeu mengaku akan mengevaluasi penggunaan dana untuk mengetahui bahwa benar-benar dimanfaatkan dan dikelola dengan manajemen yang baik.
Sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dana otonomi khusus ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur di Papua. Selain itu, dana seharusnya digunakan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat Papua dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Oleh karena dana ini berupa dana langsung yang ditransfer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau block grant, sehingga pemanfaatan dana ditentukan langsung oleh Pemerintah Daerah setempat. Menurut dia, Kemenkeu punya hak untuk menilai penyaluran anggaran tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kejadian akhir-akhir ini seperti krisis gizi memberikan pembelajaran, apakah anggaran otonomi khusus itu pemanfaatannya dan manajemen tata kelolanya berkaitan dengan tujuan otonomi khusus itu sendiri,” jelas Sri Mulyani, Kamis (1/2).
Selain masalah krisis kesehatan, pemeriksaan atas penggunaan dana ini juga disebabkan karena batas waktu pemberian dana akan berakhir pada 2021 mendatang. Sebab, sesuai pasal 34 ayat 3 huruf c angka 6, dana otsus akan berlaku selama 20 tahun saja.
Maka itu, evaluasi ini diperlukan agar kinerja dana otonomi khusus Papua bisa membaik di sisa tiga tahun terakhir ini. Mantan pelaksana Bank Dunia ini menegaskan, hanya dana otonomi khusus Papua saja yang baru dievaluasi. Sedangkan dana untuk Aceh dan dana keistimewaan Yogyakarta masih belum ditinjau lagi.
“Saat ini memang Papua saja karena deadline untuk berakhirnya tahun 2021. Bagaimana kami bisa memperbaiki kinerja (di sisa tahun-tahun terakhir),” jelas dia.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, instansinya memang berencana untuk mengevaluasi dana otonomi khusus Papua untuk mengetahui kecocokan pemanfaatannya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi paling timur tersebut.
Namun, jika efektivitas dana otsus dirasa kurang mumpuni, Kemenkeu tak berhak untuk memangkas dana tersebut lantaran dana otsus masuk ke dalam pos transfer daerah di dalam APBN.
Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, penyusunan dan perubahan APBN tentu harus mendapat restu dari dewan legislatif. Sehingga, pemangkasan dana otsus memang dimungkinkan namun tentu prosesnya juga panjang.
“Kalau sampai ada pemotongan, ini harus dibicarakan dengan DPR karena ini masuk hak APBN. Apalagi jika sudah masuk APBN, maka itu akan menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) mereka (Pemerintah Provinsi),” papar dia, kemarin.
Mengacu UU Nomor 21 Tahun 2001, alokasi dana otsus ditetapkan 2 persen dari total pagu dana alokasi khusus (DAU) nasional dalam APBN. Adapun, pemerintah telah menggelontorkan uang sebanyak Rp63,8 triliun sejak dana otonomi khusus ini digulirkan tahun 2002 hingga 2017 lalu. Sementara itu, di dalam APBN 2018, dana otsus Papua dipatok di angka Rp5,6 triliun.
(lav)