Jakarta, CNN Indonesia -- PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatat kerugian sebesar US$213,4 juta di sepanjang tahun lalu. Kerugian itu termasuk perhitungan biaya luar biasa yang terdiri dari tax amnesty (pengampunan pajak) dan denda US$145,8 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury mengatakan, sebetulnya, kalau tidak memasukkan penghitungan biaya luar biasa, kerugian yang dibukukan tak lebih besar dari US$67,6 juta.
"Kami membukukan biaya yang terkait dengan keterlibatan kami di program tax amnesty juga yang lebih kecil daripada itu terkait kasus hukum di Australia sebesar US$7,5 juta," ujarnya di Kantor Garuda, Senin (26/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati masih merugi, manajemen mengklaim, kerugian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kerugian sepanjang Januari-September 2017, yakni sebesar US$222,04. Kerugian berhasil ditekan dari hasil akumulasi laba bersih di kuartal tiga tahun lalu sebesar US$61,9 juta dan di kuartal empat, yaitu US$8,5 juta.
Sementara itu, Pahala menyebutkan, Garuda Indonesia membukukan pendapatan operasi sebesar US$4,2 miliar atau meningkat 8,1 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu US$3,9 miliar.
Tren pertumbuhan pendapatan operasional tersebut ditopang oleh lini layanan penerbangan tidak berjadwal yang melonjak hingga sebesar 56,9 persen menjadi US$301,5 juta.
Di sisi lain, total pengeluaran perseroan meningkat terkendali 13 persen dari US$3,7 miliar menjadi US$4,25 miliar. Adapun, pengeluaran terbesar berasal dari biaya bahan bakar menjadi US$1,15 miliar atau naik 25 persen dari 2016 lalu yang sebesar US$924 juta.
"Biaya yang kami rasakan dari fuel (bahan bakar) memang meningkat cukup signifikan secara tahun demi tahun, ini terlihat dari pengeluaran kami yang meningkat sebesar 13 persen," terang Pahala.
Lebih lanjut ia mnyebut, dari sisi okupansi, Garuda Indonesia Group mengangkut penumpang sebanyak 36,2 juta penumpang yang terdiri dari 24 juta penumpang Garuda Indonesia dan 12,3 juta penumpang Citylink.
(bir)