Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) memastikan tak bakal menerbitkan obligasi daerah tahun ini, meski sudah memenuhi syarat untuk melakukan penerbitan.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau akrab disapa Aher itu mengatakan semula pihaknya berencana menerbitkan obligasi daerah untuk mendukung pembiayaan pembangunan Bandara Internasional Kertajati.
Namun, melihat prosesnya penerbitannya berbelit, PT Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) akhirnya memilih opsi pinjaman sindikasi dari tujuh bank daerah syariah senilai Rp906 miliar pada tahun lalu dan penerbitan Reksa Dana Pernyataan Terbatas (RDPT) senilai 18 persen total saham atau di kisaran Rp400 miliar pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun ini tidak (menerbitkan obligasi) karena sudah diselesaikan dengan sindikasi perbankan dan RDPT," tutur Aher di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (27/2).
Aher mengungkapkan pihaknya masih terus mengkaji kemungkinan pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan obligasi daerah.
Menurut Aher, secara laporan keuangan, Jabar telah memenuhi persyaratan otoritas dengan mengantongi predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama enam tahun berturut. Selain itu, pihaknya juga telah mendapat dukungan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
"Kalau daerah sudah WTP, asetnya sudah bagus dikelola, kemudian akuntabilitas sudah A, kinerja sudah masuk tiga besar di Indonesia, mengapa harus dipersulit (menerbitkan obligasi)," ujarnya.
Kepala Kantor Regional 2 Otoritas Jawa Barat OJK Sarwono mengungkapkan saat ini aturan penerbitan obligasi daerah telah dipermudah dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) nomor 61/POJK.04/2017 tentang dokumen penyertaan pendaftaran dalam rangka penawaran umum obligasi daerah atau sukuk daerah.
Kemudian, POJK nomor 62/POJK.04/2017 terkait bentuk dan isi prospektus dan prospektus ringkas dalam rangka penawaran umum obligasi atau sukuk daerah. Terakhir, POJK nomor 63/POJK.04/2017 terkait laporan dan pengumuman emiten penerbit obligasi daerah atau sukuk daerah.
"Kalau dulu pemerintah daerah yang ingin menerbitkan obligasi harus diperiksa oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Padahal, pemerintah kan yang memeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Nah, sekarang sudah boleh kalau yang memeriksa BPK," ujarnya secara terpisah.
Dengan keluarnya ketiga aturan tersebut, Sarwono berharap penerbitkan surat utang daerah tak lagi berbelit. Dengan demikian, daerah bisa menggunakan alternatif pembiayaan obligasi untuk membiayai pembangunan dan mendukung pemerataan ekonomi.
"Sekarang tinggal kemauan pemerintah daerah itu sendiri untuk mau atau tidak mencari sumber dana yang lebih panjang, yang lebih murah, untuk membiayai pembangunan di daerahnya," ujarnya.
(lav)