REKOMENDASI SAHAM

Saham Emiten Komoditas Jadi Sekoci Saat IHSG Karam

Dinda Audriene Mutmainah | CNN Indonesia
Senin, 05 Mar 2018 09:17 WIB
Sejumlah analis sepakat saham berbasis komoditas dapat dikonsumsi di tengah pelemahan rupiah. Seperti, Astra Agro Lestari dan Salim Ivomas Pratama.
Sejumlah analis sepakat saham berbasis komoditas dapat dikonsumsi di tengah pelemahan rupiah. Seperti, Astra Agro Lestari dan Salim Ivomas Pratama. (CNN Indonesia/ Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan rupiah sebaiknya menjadi alarm agar pelaku pasar selektif dalam melakukan aksi beli di pasar modal Indonesia. Terlebih, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksi masih berada di zona merah.

Sejumlah analis sepakat, saham berbasis komoditas dapat dikonsumsi saat rupiah digerogoti dolar Amerika Serikat (AS). Bukan tanpa alasan, soalnya, perusahaan yang bergerak di sektor komoditas seringkali memasarkan produknya hingga ke luar negeri.

Dengan pelemahan rupiah, perusahaan akan mengantongi untung lebih tebal dari penjualan ekspor. Seperti diketahui, rupiah pada penutupan akhir pekan lalu, berakhir di Rp13.757 per dolar AS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Analis Trimegah Sekuritas Rovandi mengatakan, saham komoditas diuntungkan dari kondisi ini, khususnya saham berbasis batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).


Untuk saham CPO, Rovandi merekomendasikan saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).

"Dari sisi laporan keuangan juga bagus. Jadi, ini juga sentimen positif tambahan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/3).

Mengutip laporan keuangan masing-masing perusahaan tahun lalu, laba bersih Astra Agro Lestari tercatat tumbuh tipis 0,5 persen menjadi Rp2,01 triliun dibandingkan 2016 lalu yang sebesar Rp2 triliun.

Kemudian, PP London Sumatra meraup laba bersih sebesar Rp763,48 miliar sepanjang tahun lalu. Angka itu lebih tinggi 28,57 persen dari posisi tahun sebelumnya yang hanya Rp593,82 miliar.


Berbeda dari dua emiten sebelumnya, Salim Ivomas Pratama tidak berhasil mempertahankan perolehan laba bersihnya. Laba bersih perusahaan turun 4,85 persen dari Rp538,33 miliar menjadi Rp512,2 miliar.

Namun, Salim Ivomas Pratama membukukan pendapatan sebesar Rp15,82 triliun, naik 8,87 persen dari Rp14,53 triliun. "Dengan pelemahan rupiah, maka pendapatan bisa semakin tinggi dengan penjualan ekspor," terang dia.

Sementara itu, Analis Henan Putihrai Liza Camelia Suryanata mengungkapkan, kemenangan Indonesia dalam sengketa biodiesel dengan Uni Eropa (UE) yang diputuskan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga masih memberikan sentimen positif bagi emiten CPO.

Informasi tersebut sebenarnya telah mencuat sejak akhir Januari 2018, tetapi pelaku pasar nyatanya masih merespons positif, sehingga sentimen positif itu bersifat jangka panjang.


"Saham emiten CPO boleh diperhatikan lagi (untuk pekan ini)," tutur Liza.

Kebetulan, harga saham Astra Agro Lestari, PP London Sumatra Indonesia, dan Salim Ivomas Pratama kompak melemah pada Jumat (2/3).

Bila dirinci, Astra Agro Lestari turun 0,83 persen ke level Rp14.900 per saham, PP London Sumatra Indonesia turun hingga 3,37 persen ke level Rp1.435 per saham, dan Salim Ivomas Pratama melorot cukup dalam 7,2 persen ke level Rp580 per saham.

"Jadi, bisa buy on weakness (beli di harga rendah)," jelas Liza.


Adapun, pelaku pasar bisa melirik saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) jika ingin membeli saham berbasis batu bara. Selain karena berharap keuntungan lebih dari penjualan ekspornya, harga batu bara yang masih di atas US$100 per metrik ton juga berimbas positif bagi kinerja perusahaan.

"Sempet turun pekan lalu, tapi masih di atas US$100 per metrik ton. Bahkan, kalau pun turun ke US$97 per metrik ton pun masih aman untuk kinerja perusahaan," kata Rovandi.

Melihat laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada kuartal III 2017, laba bersih perusahaan melejit hingga 149,52 persen menjadi Rp2,62 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1,05 triliun.

Batu Bara Berpotensi Terkoreksi

Di sisi lain, Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido Hutabarat mengingatkan, pekan ini bukan waktu yang tepat bagi pelaku pasar membeli saham batu bara.

Pasalnya, saham batu bara berpotensi kembali terkoreksi pada waktu mendatang. Sehingga, pelaku pasar bisa masuk ke emiten batu bara dengan harga yang jauh lebih murah.

Kevin mengatakan, sentimen negatif datang dari kajian yang sedang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait harga batas atas dan bawah batu bara domestic market oblogation (DMO).


"Sekarang kan tim kajian mematok harganya di sekitar US$70 per metrik ton, perusahaan batu bara maunya US$85 per metrik ton," ujarnya.

Makanya, saham emiten batu bara otomatis terkoreksi jika pemerintah telah menetapkan harga batu bara DMO. Pasalnya, angka sementara yang dikaji oleh tim dari ESDM lebih rendah dibandingkan harga pasar yang berada di atas US$100 per metrik ton.

"Jadi, bagi emiten batu bara yang banyak jual ke BUMN akan berimbas negatif," tutur Kevin.

Dengan begitu, ia menempatkan saham emiten batu bara dalam posisi hold untuk saat ini. Menurutnya, jika pelaku pasar lebih sabar untuk masuk ke saham emiten batu bara, maka potensi keuntungan yang diraih nantinya juga akan semakin besar.


Logikanya, ia melanjutkan, pelaku pasar hanya perlu mengeluarkan modal yang lebih sedikit dari posisi saat ini. Sehingga, pelaku pasar bisa merealisasikan keuntungan lebih besar saat harga saham batu bara menanjak.

Kevin menambahkan, beberapa saham yang akan berimbas negatif dari penetapan harga batu bara DMO, di antaranya Bukit Asam, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), serta PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Pada akhir pekan lalu, harga saham Adaro Energy anjlok 4,55 persen ke level Rp2.310 per saham, Bukit Asam turun 3,15 persen ke level Rp3.070 per saham, dan Bumi Resources turun 1,92 persen ke level Rp306 per saham. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER