ANALISIS

Ironi Tarif dan Timpangnya Hubungan Kerja Ojek Online

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 29 Mar 2018 17:25 WIB
Penentuan tarif ojek online yang cenderung diputuskan sepihak oleh aplikator dinilai pengamat menunjukkan ketimpangan hubungan kerja antara mitra dan aplikator.
Beberapa kali pengemudi ojek online melakukan aksi demo terkait masalah tarif. Terakhir, demo dilakukan di depan Istana Negara, menuntut intervensi pemerintah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kehadiran transportasi berbasis daring (online) memberikan angin segar bagi permasalahan pengangguran tinggi yang saat ini menjadi masalah utama sektor ketanagakerjaan di tanah air.

Terlebih, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta orang pada Agustus 2017. Jumlah ini naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 7,03 juta orang.

Berdasarkan kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang dirilis bulan ini, penghasilan mitra pengemudi aplikasi Gojek bahkan bisa melampaui Upah Minimal Pekerja (UMP). Survei yang dilakukan lembaga tersebut pada akhir tahun lalu ini menyebut, sekitar 1.200 dari 3.315 responden mitra Gojek mengaku memperoleh penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan. Sebagai pembanding, sebelum menjadi mitra Gojek, hanya 264 responden dari 3.315 responden yang memiliki penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun untuk menjadi mitra Gojek, tak dibutuhkan syarat pendidikan, hanya perlu keterampilan mengemudi.

Di awal kemunculannya, perusahaan transportasi online atau aplikator memberikan subsidi tarif dan insentif yang cukup menggiurkan kepada para mitranya. Tak ayal, masyarakat pun berbondong-bondong melamar menjadi tukang ojek.

Namun, dalam perjalanannya, kemitraan ini beberapa kali mendapatkan sandungan. Pasalnya, aplikator tak bisa terus menerus memberikan subsidi tarif yang besar seiring membengkaknya jumlah mitra. Di sisi lain, aplikator juga saling besaing satu sama lain dalam memberikan tarif guna menarik penumpang.


Beberapa kali pengembang aplikator didemo oleh mitranya karena masalah hubungan kemitraan yang dianggap merugikan, terutama masalah tarif.

Terakhir, Selasa (27/3) lalu, ribuan pengemudi ojek online menggelar demo di depan Istana Negara. Kali ini, protes aliansi pengemudi ojek online yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia itu menuntut intervensi pemerintah dalam rasionalisasi tarif ojek online yang diberlakukan oleh aplikator.

Setelah bertemu dengan perwakilan pendemo, pemerintah mengusulkan batas minimal tarif ojek online setidak nya Rp2.000 per kilometer (km) setelah memperhitungkan keuntungan dan biaya jasa yang berkisar Rp1.400 - Rp1.500 per km. Namun, angka tersebut masih di bawah usulan pengemudi ojek online yang menuntut setidaknya tarif minimal Rp3.000 per km tanpa perlu ada insentif tambahan, seperti bonus dan promo.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Susilo Andi Darma mengungkapkan konsep kemitraan antara aplikator dengan mitra pengemudi di Indonesia merupakan suatu anomali. Pasalnya, posisi aplikator dan pengemudi sebagai mitra tidak berimbang. Misalnya, dalam hal penentuan tarif yang cenderung diputuskan sepihak oleh aplikator.

Menurut Susilo, anomali ini terjadi karena jumlah pasokan tenaga kerja di Indonesia melampaui jumlah lapangan kerja yang tersedia, tercermin dari masih tingginya angka pengangguran. Akibatnya, posisi tawar mitra pengemudi yang membutuhkan lapangan kerja menjadi lebih rendah.


Di sisi lain, pengemudi ojek online bukanlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh aplikator. Akibatnya, hak dan kewajiban mitra pengemudi ojek online tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan.

Indonesia, lanjut Susilo, belum memiliki payung hukum yang jelas dalam melihat hubungan kemitraan gaya baru ini. Jangankan hubungan kemitraan, moda transportasi ojek sebenarnya tidak termasuk sebagai angkutan umum yang diakui dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kendati demikian, melihat banyaknya jumlah mitra pengemudi yang kini telah menggantungkan hidupnya pada ojek online, pemerintah tak bisa berdiam diri.

"Dalam konteks sebagai regulator, pemerintah harus menjadi pelindung dari pihak yang lemah. Pemerintah harus intervensi dan membuat aturan yang jelas antara mereka (aplikator dan mitra pengemudi), termasuk masalah hak dan kewajiban," ujar Susilo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/3).

Pemerintah, lanjut Susilo, bisa berperan sebagai mediator antara kedua belah pihak. Namun, pada akhirnya, masalah penentuan tarif harus dikembalikan pada aplikator dan mitranya.'


Senada dengan Susilo, Pengamat Ketenagakerjaan sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono juga menilai masalah penentuan tarif harus dikembalikan kepada kedua belah pihak karena hubungan keduanya merupakan hubungan kemitraan. Jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian kemitraan, salah satu pihak bisa membawa ke ranah hukum perdata.

"Seharusnya, (pengemudi ojek online) tidak meminta pemerintah untuk mengatur (tarif itu). Ini kan berarti pemerintah campur tangan pada perjanjian pada umumnya," ujarnya.

Pemerintah, lanjut Aloysius, hanya bisa berperan sebagai perantara antara kedua pihak untuk mengadakan perjanjian mengenai tarif.

Pengamat ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi mengungkapkan keberadaan aplikasi ojek online bisa menjadi solusi jangka pendek bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia yang belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja. Karenanya, keberadaannya jangan sampai dihilangkan.

"Kalau memiliki keahlian tinggi tetapi lapangan kerjanya tidak ada kan sama saja," ujar Tadjudin.


Pemerintah sendiri terus mengkaji aturan hubungan kerja antara aplikator transportasi online dengan mitranya, terutama pengemudi kendaraan roda dua.

Menurut Menteri Ketenakerjaan Hanif Dhakiri, pola kemitraan antara keduanya masih samar.

"Yang terjadi saat Ini kan nonstandard form of employment. Jadi memang polanya tidak biasa. Makanya, justru karena kasusnya seperti itu, kami mengkaji secara mendalam, apakah perlu output dalam bentuk kebijakan. Tapi dengan catatan, kalau misalnya jadi regulasi, jangan bikin industrinya jadi tidak berkembang," ujar Hanif kemarin.

Penyelesaian konflik antara mitra pengemudi gojek dengan aplikator harus segera menemukan titik temu. Jika terjadi konflik berlarut-larut, pada akhirnya yang akan dirugikan adalah masyarakat luas. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER