Jakarta, CNN Indonesia -- Penetapan harga khusus batu bara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) di sektor ketenagalistrikan membuat perusahaan batu bara harus merelakan sejumlah potensi pendapatan menguap.
Sebelumnya, Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018 mengatur bahwa setidaknya 25 persen penjualan batu bara perusahaan harus ditujukan untuk keperluan dalam negeri.
Sesuai Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, harga batu bara DMO sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga batu bara acuan jika berada di bawah US$70 per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, untuk nilai kalori lainnya akan dikonversi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Direktur Utama PT Kaltim Prima Coal (KPC) Saptari Hoedaja mengungkapkan perusahaan bakal kehilangan potensi pendapatan senilai US$184,01 juta atau sekitar Rp2,5 triliun karena penetapan harga khusus itu.
Tahun ini, perusahaan menargetkan penjualan sebesar 59,8 juta ton, sebanyak 12,7 juta ton di antaranya untuk pembangkit PT PLN (Persero). Jika mengikuti HBA sebesar US$94,75 per ton kalori 6.332 GAR, rata-rata harga batu bara dengan kalori lebih rendah yang dipasok ke PLN adalah US$70,6 per ton. Dengan demikian, total penjualan perusahaan mencapai US$897,9 juta.
Dengan asumsi harga batu bara US$70 per ton kalori 6.332 GAR, rata-rata harga batu bara dengan kalori lebih rendah yang dipasok ke PLN sebesar US$56,1 per ton. Artinya, perusahaan hanya akan mendapatkan penerimaan US$714,88 juta.
"(Dengan harga batu bara DMO US$70 per ton) kami kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp2,5 triliun," ujar Eddie saat menghadiri Rapat Dengar Pendapatan Umum (RDPU) dengan Komisi VII di Gedung DPR, Selasa (3/4).
Tahun lalu, perusahaan memasok kebutuhan batu bara kepada PT PLN (Persero) sebanyak 10,4 juta ton dari total penjualan yang mencapai 57,6 juta ton.
Guna memitigasi risiko tersebut, perusahaan akan berusahaan melakukan efisiensi. Dengan demikian, perusahaan bisa tetap menjaga kinerja laba.
Senada dengan Eddie, Direktur Utama PT Arutmin Indonesia Ido Hotna Hutabarat juga akan melakukan efisiensi.
"Kami melakukan efisiensi produksi. Bagaimana kami mengatur tambang kami sehingga jarak angkut untuk batuan penutup bisa lebih rendah. Selain itu, penggunaaan bahan bakar juga akan kami efisienkan," ujar Ido secara terpisah.
Tahun ini, Arutmin menargetkan penjualan batu bara mencapai 28,45 juta ton di mana 26 persen di antaranya untuk kepentingan DMO pembangkit listrik.
Jika mengikuti ketentuan harga khusus, perusahaan memperkirakan bakal kehilangan potensi pendapatan sekitar US$67,7 juta dolar.
Ido mengungkapkan dengan harga khusus, konsumen dari luar negeri banyak yang meminta harga batu bara yang lebih murah dibandingkan pasar. Di saat bersamaan, pemain lokal juga banyak yang meningkatkan porsi penjualan ekspornya.
"Kalau ada yang menawar harga (batu bara) di atas US$70 per ton, dia (pelaku usaha) akan lepas," ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadi mengungkapkan kebijakan harga khusus DMO lebih banyak berdampak pada perusahaan batu bara yang sebagian besar penjualannya untuk domestik. Lokasi tambang perusahaan tersebut mayoritas berada di Sumatera.
"Teman-teman di perusahaan tersebut (mayoritas penjualan batu bara di dalam negeri) mungkin nanti akan mencoba bernegosiasi dengan PLN untuk harga ke depan. Kami, dari asosiasi, akan mendukung," ujarnya.
(lav/bir)