Jakarta, CNN Indonesia -- Cadangan devisa Indonesia terpangkas US$2,06 miliar menjadi US$126 miliar pada Maret 2018, dipicu penggunaan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Bank Indonesia mencatat, posisi cadangan devisa sampai akhir Februari 2018 sebesar US$128,06 miliar, namun berkurang menjadi US$126 miliar pada akhir Maret tahun ini.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," demikian tertulis dalam keterangan pers BI, Jumat (6/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Departemen Komunikasi BI Agusman menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal, serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Penurunan cadangan devisa pada Maret 2018 terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Tak hanya itu, cadangan devisa juga dimanfaatkan untuk mendorong stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai seiring dengan terjaganya keyakinan terhadap prospek perekonomian domestik yang membaik dan kinerja ekspor yang tetap positif.
Pasalnya, posisi cadev masih cukup untuk membiayai 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Sebelumnya, Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar rupiah akan kembali bergejolak pada Mei 2018, setelah bergerak di kisaran Rp13.700 per dolar AS selama Maret ini.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo menilai gejolak rupiah akan terjadi lantaran pasar menanti kepastian jelang kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang diperkirakan akan terjadi pada Juni 2018.
"Kalau The Fed benar-benar akan menaikkan di bulan Juni, mungkin nanti di Mei akan terjadi lagi volatilitas," ujar Agus beberapa waktu lalu.
Hal tersebut telah terjadi pada Februari lalu, di mana sejak sebulan sebelum pengumuman The Fed, gejolak rupiah sudah terasa. Kendati begitu, Agus belum bisa memperkirakan seberapa besar gejolak rupiah pada Mei nanti.
Hanya saja, ia memastikan, bank sentral nasional sudah siap dengan gejolak rupiah mendatang. Caranya, dengan mempersiapkan cadangan devisa untuk melakukan intervensi stabilisasi rupiah bila diperlukan.
Sejak awal tahun, posisi cadev terus menurun untuk stabilisasi rupiah, setelah menyentuh level tertingginya pada Januari 2018 yang mencapai US$131,98 miliar. Hal ini karena rupiah terus bergejolak, setelah mendapat tekanan dari penguatan dolar Amerika Serikat (AS).
Penguatan dolar AS sendiri terjadi lantaran kebijakan fiskal dan moneter di Negeri Paman Sam. Dari sisi fiskal, Presiden AS Donald Trump mengambil kebijakan reformasi perpajakan.
Sedangkan dari sisi moneter, bank sentral AS, The Federal Reserve mengerek suku bunga acuannya sebanyak 25 basis poin menjadi 1,5-1,75 persen pada Maret lalu.
(lav)