Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Network Election Survey (INES) mengatakan kebijakan fiskal Presiden
Joko Widodo dianggap tidak memuaskan. Setidaknya, itu merupakan hasil survei yang dilakukan INES dengan mengambil sampel 2.180 orang yang tersebar di 408 kabupaten dan kota.
Direktur Eksekutif INES Oskar Vitriano memaparkan salah satu poin kebijakan fiskal yang disoroti responden adalah masalah utang. Tercatat, sebanyak 72,7 persen responden tidak setuju dengan jumlah
utang negara yang menggunung.
Menurut data
Kementerian Keuangan per Maret 2018, total utang
outstanding pemerintah tercatat Rp4.136,39 triliun atau tumbuh 13,14 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini tercatat 29,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Oskar, responden khawatir utang tersebut akan sulit dibayar oleh pemerintah. Sehingga, mau tak mau pemerintah perlu menggenjot pajak demi melunasi utang-utang tersebut. Terlebih, sejauh ini, penerimaan pajak juga masih belum mumpuni.
Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak per Maret 2018 sudah berada di angka Rp244,5 triliun atau bertumbuh 9,94 persen dibanding tahun kemarin. Meski demikian, rasio pajak terhadap PDB (
tax ratio) masih sangat kecil. Di tahun lalu saja,
tax ratio Indonesia masih 10,8 persen dari PDB.
"Responden khawatir, beban pembayaran utang luar negeri nantinya akan dibebankan kepada masyarakat dengan menggenjot pajak," jelas Oskar, Minggu (6/5).
Kendati begitu, 20,1 persen responden masih percaya utang Jokowi masih belum membahayakan. Asal, utang tersebut benar-benar dialokasikan dengan benar dan tidak dikorupsi.
"Sementara 7,1 persen sisa responden lainnya tidak mau bersikap mengenai utang Jokowi," jelasnya.
Tak berhenti di masalah utang, responden juga menyoroti kebijakan realokasi subsidi listrik. INES menyebut, sebanyak 81,7 persen responden mempermasalahkan kenaikan tarif dasar listrik akibat kebijakan pemangkasan subsidi tersebut.
Sebagai contoh, di tahun lalu pemerintah mencabut subsidi listrik bagi 18,94 juta pelangan golongan 900 Volt Ampere (VA) dan memasukkanya sebagai golongan non-subsidi. Ini, lanjut Oskar, membuat responden merasa terbebani dari segi daya beli.
Selain itu, beberapa responden juga mempermasalahkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan seperti Solar dan Premium, meski pemerintah telah menahan harganya dalam dua tahun terakhir.
"Namun, 10,2 persen ternyata tidak mempermasalahkan terbebani dengan harga listrik dan BBM," terangnya.
Di dalam APBN 2018, pemerintah menargetkan tambahan utang sebesar Rp399,2 triliun demi menambal defisit APBN yang ditarget 2,19 dari PDB persen di tahun ini. Defisit ini lebih baik ketimbang tahun 2017 yang mencapai 2,49 persen dari PDB.
Sementara itu, pemerintah mengalokasikan Rp94,5 triliun untuk subsidi BBM dan listrik.
(age)