Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan
saham emiten
perbankan sejak beberapa hari terakhir bisa dimanfaatkan pelaku pasar untuk masuk kembali ke pasar modal.
Sejumlah saham emiten perbankan berkapitalisasi besar
(big capitalization/big cap) disebut sudah masuk dalam area jenuh jual
(oversold) jelang hasil pengumuman Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) terkait
suku bunga acuan pekan lalu.
Beberapa analis saham pun sepakat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia
(BI 7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebesar 25 basis poin tidak berdampak buruk karena perbankan. Perbankan diperkirakan tak akan serta merta menaikkan suku bunga kreditnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menilai empat emiten terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak akan langsung menaikkan suku bunga kredit usai kenaikan suku bunga acuan BI.
"Ini juga sudah ditekankan oleh petinggi atau manajemen perbankan itu, untuk jangka pendek belum ada indikasi kenaikan suku bunga kredit," tutur Valdy kepada
CNNIndonesia.com, Senin (21/5).
Empat emiten perbankan yang dimaksud Valdy, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Keputusan untuk tidak langsung menaikkan suku bunga acuan ini juga disebabkan pertumbuhan kredit industri yang masih satu digit atau di bawah 10 persen. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan kredit pada April 2018 sebesar 8,8 persen. Pada akhir 2018, OJK menargetkan pertumbuhan kredit mencapai 10 persen-12 persen.
"Kalau pertumbuhan kredit masih satu digit maka perbankan akan lebih ekspansif untuk menyalurkan kreditnya. Kalau menaikkan suku bunganya, justru akan berdampak negatif," papar Valdy.
Sementara, keputusan BI dalam menaikkan suku bunga acuan dinilai positif untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Hal itu diharapkan menurunkan kekhawatiran perbankan karena pelemahan rupiah bisa berdampak pada kenaikan risiko gagal bayar perusahaan yang memiliki kredit valuta asing (valas).
"Misalnya satu perusahaan mengutang dengan satuan rupiah tadinya Rp13 ribu, tapi kan rupiah turun jadi Rp14 ribu. Jadi jumlah utangnya bertambah, itu berpotensi menambah rasio kredit bermasalah
(Non Performing Loan/NPL)," jelas Valdy.
Dengan kata lain, Valdy memandang kenaikan suku bunga acuan BI sebagai hal positif, baik bagi pergerakan rupiah dan saham perbankan. Untuk itu, pelaku pasar diminta tak khawatir kinerja perbankan akan turun karena pertumbuhan kredit melambat.
"Semua kembali ke manajemen perbankannya masing-masing," imbuh Valdy.
Pada pekan ini, Valdy memprediksi harga saham BCA bergerak dalam rentang Rp22.000-Rp22.500 per saham, Bank Mandiri sebesar Rp7.150-Rp7.500 per saham, BRI sebesar Rp3.100-Rp3.150 per saham, dan BNI sebesar Rp8.000-Rp8.150 per saham.
Pada akhir pekan lalu, Jumat (18/5), mayoritas saham tersebut berakhir di zona merah. Bila dirinci, BCA turun 1,36 persen menjadi Rp21.700 per saham, BRI turun 1,67 persen menjadi Rp2.940 per saham, dan BNI turun 2,88 persen menjadi Rp7.575 per saham.
Dengan begitu, hanya Bank Mandiri yang mampu bergerak positif pada akhir pekan lalu dan ditutup naik 1,49 persen ke level Rp6.800 per saham.
Setali tiga uang dengan Valdy, Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama menilai saham perbankan memiliki prospek yang bagus untuk jangka pendek dan jangka panjang.
"Bank Mandiri target harga jangka panjang nya di level Rp7.850 per saham dan BCA jangka pendek hingga jangka melemah di level Rp23.150 per saham," ungkap Nafan.
Ia juga setuju kinerja emiten perbankan tetap positif meski suku bunga acuan naik menjadi 4,5 persen. Menurutnya, fundamental emiten perbankan
big cap juga masih terbilang positif.
"Mudah-mudahan suku bunga kredit perbankan ditetapkan pada level yang sama, sebab setahu saya
gap antara tingkat suku bunga BI dengan perbankan memang jauh," sambung Nafan.
Jika perbankan menaikkan suku bunga kreditnya, maka otomatis akan menghambat pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh masing-masing perbankan.
Nafan menilai, selain untuk menstabilkan rupiah, keputusan BI dalam menaikkan suku bunga acuan juga untuk menarik kembali pelaku pasar asing untuk menanamkan dananya di pasar modal.
"Saya rasa kenaikan suku bunga acuan BI juga ditujukan agar pada modal tidak mengalami kenaikan arus modal asing keluar
(capital outflow) yang signifikan," jelas dia.
(agi)