Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Keuangan memperkirakan
Surat Berharga Negara (SBN) bisa dimiliki seluruhnya oleh investor domestik dalam jangka lima tahun ke depan, asal ada dukungan dari aktivitas ekonomi dalam negeri.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Scenaider Siahaan mengatakan kepemilikan porsi asing di SBN bisa berangsur hilang, asal dilengkapi beberapa syarat.
Pertama, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus berangsur menyusut.
Saat ini, rencana defisit APBN tahun depan di kisaran 1,6-1,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau turun dari target tahun ini 2,19 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, harus ada mobilisasi dana dalam negeri, utamanya dana himpunan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pergantian skema penghimpunan dana pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga bisa memobilisasi dana dalam jumlah banyak untuk ditempatkan di instrumen seperti SBN.
"Kalau semuanya sudah jalan, maka lima tahun ke depan semua pembiayaan bisa domestik," tutur Scenaider di Gedung DPR, Selasa (3/7).
Menurut dia, permintaan utama SBN berasal dari dana pensiun dan asuransi. Sedangkan, selama ini pertumbuhannya lemah, jadi agak sulit bagi pemerintah untuk mencari pendanaan dari pasar dalam negeri.
Lebih lanjut ia menuturkan, banyaknya porsi investor domestik dalam kepemilikan SBN tentu bisa meringankan beban APBN di masa depresiasi nilai tukar seperti saat ini.
Berkurangnya beban APBN atas imbal hasil dalam dolar AS juga bisa berdampak positif bagi neraca pembayaran, utamanya pada komponen neraca modal (capital account). Jika pasar domestik bergerak baik, maka tidak ada lagi ceritanya arus modal keluar dengan melepas SBN.
"Hal yang paling minim risiko adalah pasar domestik, tapi kami sadar bahwa pasar rupiah ini sangat terbatas. Tentu kebutuhan pembiayaan ini harus dilihat, tapi jangan mengorbankan ekonomi di masa depan," jelasnya.
Meski demikian, dalam jangka pendek, SBN dalam bentuk valuta asing tetap diperlukan. Apalagi, ini demi memupuk cadangan devisa setelah terkuras habis lantaran melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Data Bank Indonesia (BI) mencatat, devisa sejak awal tahun susut 6,89 persen dari US$132 miliar di bulan Januari menjadi US$122,9 miliar akibat menangani depresiasi rupiah yang mencapai lebih dari 4 persen.
"Dampak kenaikan suku bunga AS ini kami perkirakan akan berlangsung sampai 2019. Makanya, nanti kami lihat dulu pembiayaan berapa yang bisa ditopang dengan rupiah, dan berapa dalam bentuk valas," imbuh dia.
Di dalam APBN 2018, pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp1.894,72 miliar dan belanja sebesar Rp2.220,65 triliun. Dengan postur fiskal yang defisit Rp325,93 triliun, artinya belanja pemerintah memang masih perlu ditambal dengan pembiayaan.
Hingga Mei 2018, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp4.169,9 triliun atau tumbuh 13,55 persen dibanding tahun lalu. Dengan kata lain, kini rasio utang terhadap PDB sudah di angka 29,58 persen dari PDB.
Pemerintah membutuhkan pembiayaan sebanyak Rp783,2 triliun di tahun ini yang terdiri dari Rp55,8 triliun pinjaman dan Rp727,4 triliun SBN. Namun, Angka SBN ini kemudian ditambah lagi dengan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) jatuh tempo sebesar Rp119 triliun, sehingga angka total SBN yang diterbitkan pemerintah tahun ini rencananya sebesar Rp846,4 triliun.
(lav/bir)