Jakarta, CNN Indonesia -- Satun Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
(SKK Migas) memperkirakan realisasi pengembalian biaya operasional hulu minyak dan gas bumi
(cost recovery) tahun ini bakal melampaui asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang hanya US$10,1 miliar.
Hitungan mereka, tahun ini realisasi pengembalian
cost recovery akan mencapai US$11,3 miliar.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan perkiraan tersebut dibuat berdasarkan realisasi pengembalian
cost recovery per 30 Juni kemarin yang sudah mencapai US$5,2 miliar atau 51 persen dari alokasi APBN. Realisasi tersebut naik jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang hanya US$4,87 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkiraan juga dibuat berdasarkan data historis pengembalian
cost recovery yang setiap tahun selalu membengkak pada kuartal IV.
"November, Desember biasanya tagihannya banyak, makanya kemungkinan akan lebih," katanya di Jakarta, Jumat (6/7).
Amien mengatakan peningkatan pengembalian cost recovery tahun ini juga mendapat pengaruh dari kenaikan harga minyak dunia.
Maklum, dalam kontrak bagi hasil produksi (PSC), cost recovery dengan kontraktor kerja sama (KKKS) terdapat klausul yang menyatakan bahwa bila harga minyak mencapai level tertentu biaya yang timbul akibat perubahan harga akan dibebankan ke cost recovery.
"Jadi kalau minyak naik, cost recovery bertambah," katanya.
Meskipun berpotensi membengkak, Amien mengatakan peningkatan beban cost recovery tersebut terobati oleh potensi peningkatan penerimaan negara dari sektor hulu migas. SKK Migas memproyeksikan tahun ini penerimaan dari sektor tersebut akan mencapai US$14,2 miliar.
Realisasi tersebut 120 persen lebih besar dibanding target dalam APBN 2018 yang hanya US$11,9 miliar.
Sampai dengan 30 Juni kemarin, realisasi penerimaan dari sektor hulu migas sudah mencapai US$8,5 miliar atau 71 persen dari target APBN.
(agt/agi)