Jakarta, CNN Indonesia -- Saat sebagian besar penghuni Ibukota menghabiskan waktu untuk bersantai, sejumlah menteri dan pejabat negara bidang ekonomi justru mengadakan rapat pada Minggu (8/7) sore.
Aktivitas di luar kebiasaan tersebut menunjukkan pertemuan memiliki urgensi yang tinggi. Kebijakan peninjauan ulang keringanan
tarif bea masuk untuk impor produk-produk tertentu
(Generalized System of Preferences/GSP) oleh Amerika Serikat (AS) disebut-sebut menyebabkan pemerintah 'kebakaran jenggot'.
Tak dapat dipungkiri, kebijakan AS untuk mengkaji ulang insentif tarif, termasuk produk ekspor dari Indonesia akan semakin mendera kondisi perdagangan nasional yang kini tengah melesu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amati saja, kondisi
neraca perdagangan Indonesia yang terus mencatat defisit sepanjang 2018. Terakhir, angkanya sudah mencapai US$2,83 miliar sejak Januari hingga Mei 2018.
Pelebaran jurang defisit tentu membuat
cadangan devisa tak mumpuni. Padahal, Bank Indonesia membutuhkan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate hingga kemarin, rupiah sepanjang tahun ini sudah terjerembab 5,78 persen. Ini diiringi dengan terus turunnya cadangan devisa dari US$131,98 miliar di bulan Januari ke US$119,8 miliar di bulan Juni kemarin.
Pemerintah paham, demi memupuk cadangan devisa, maka harus ada perbaikan neraca perdagangan. Salah satunya melalui pembatasan produk impor yang masuk ke Indonesia.
Untuk mengatasi persoalan perdagangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji akan meneliti urgensi beberapa barang impor, baik dalam bentuk bahan baku ataupun barang modal. Meski demikian, kebijakan ini memiliki kelemahan tersendiri.
Ia mengakui seleksi barang impor ini tentu bisa memulihkan defisit transaksi berjalan secara drastis. Namun, jika nantinya impor barang modal dan bahan baku diseleksi, ini bisa menghambat investasi dan kemudian bisa membatasi gerak pertumbuhan ekonomi.
"Saat yang sama, kami mulai meneliti kebutuhan impor, apakah itu memang betul-betul yang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dan secara selektif akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan," jelas Sri Mulyani.
Untuk itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan membentuk satuan tugas khusus yang mengkaji tingkat urgensi setiap barang impor. Satuan tugas ini bukan sekadar menyeleksi impor, tetapi juga merumuskan upaya demi mengakselerasi pertumbuhan ekspor.
"Sehingga dalam waktu tidak lama, kami ingin supaya neraca dagang defisitnya mengecil dan bisa kami ubah menjadi positif," jelas Darmin.
Instrumen seleksi impor ini sebetulnya juga dilakukan oleh negara lain, utamanya dalam bentuk pengendalian
(import controls). Lazimnya, pengendalian ini dibagi dalam dua kelompok, yakni tarif dan nontarif.
Kebijakan tarif tentu dilakukan menggunakan instrumen bea masuk. Sementara itu, instrumen nontarif bisa berupa kuota, pembatasan perdagangan menggunakan mata uang tertentu, serta pelarangan terhadap benda ilegal dan berbahaya.
Di China, misalnya, memberlakukan tiga golongan impor yakni kategori barang dilarang, dibatasi, dan diperbolehkan. Untuk kategori dibatasi, ada kebijakan kuota impor yang menyertainya.
Di Indonesia, kebijakan pembatasan impor sebenarnya bukan barang baru. Impor ban, misalnya, kini dibatasi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 Tahun 2016. Begitu pun dengan impor batik yang dibatasi melalui Permendag Nomor 86 Tahun 2015.
Biasanya, seleksi impor dilakukan demi proteksi industri dalam negeri. Namun sepertinya pemerintah perlu berhati-hati dalam melakukan seleksi impor.
Terlebih, sebagian besar barang impor yang masuk ke Indonesia merupakan barang modal dan bahan baku produksi. Data BPS antara Januari hingga Mei mencatat, bahan baku dan barang modal masing-masing mengambil porsi 74,53 persen dan 16,25 persen dari nilai impor US$77,77 miliar.
 Data posisi neraca perdagngan Indonesia sepanjang 2018. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Seleksi Impor Cuma untuk Jangka PendekEkonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto berpendapat, kebijakan seleksi impor merupakan hal bijaksana demi memperbaiki neraca perdagangan. Dengan catatan, kebijakan ini hanya bisa dilakukan dalam jangka pendek.
Menurutnya, nilai impor dalam jangka pendek bisa turun signifikan jika komponen bahan baku tak didatangkan dari luar negeri. Hal yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kesiapan Indonesia dalam menyiapkan industri pengganti impor.
Nah, di sini, pemerintah diminta hati-hati dalam melakukan seleksi impor. Salah langkah, bisa-bisa industri dalam negeri menjerit. Produksi manufaktur tak tumbuh dan ujung-ujungnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
"Cara tercepat ya memang mengendalikan harga impor, apalagi saat rupiah tertekan. Tapi ini juga menyangkut kecermatan dalam menyortir barang modal dan bahan baku atau penolong," terangnya.
Maka itu, dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang komplementer dengan seleksi impor. Salah satunya adalah dengan insentif fiskal bagi industri bahan baku substitusi impor.
Namun, insentif ini tak melulu berupa pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) dalam waktu dan besaran tertentu (tax holiday) atau fasilitas pengurangan penghasilan kena pajak (
tax allowance). Pemerintah bisa lebih inovatif dengan memberikan insentif bagi perusahaan substitusi impor yang berani menjamin ketersediaan bahan baku secara tepat waktu dan dengan harga yang terjangkau bagi industri hilir.
"Jadi tidak bisa terus seleksi impor saja namun tidak peduli dengan jangka panjangnya. Semua tentu harus paralel. Dan tentu harus ada substitusi impor, seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, maka kebutuhan barang impor juga makin naik. Treatment-nya harus cepat berubah," jelas dia.
Setali tiga uang, Ekonom ADB Institute Eric Sugandi berpendapat kebijakan seleksi impor terbilang manjur dalam menyehatkan neraca perdagangan dalam jangka pendek. Oleh karenanya, ada beberapa patokan yang perlu diikuti pemerintah sebelum melakukan kebijakan tersebut.
Pertama, harus ada kajian menyeluruh terkait dampak seleksi impor terhadap kebutuhan industri dalam negeri. Jangan sampai industri megap-megap karena kekurangan bahan baku atau barang modal.
Adapun, beberapa contoh barang modal dengan tingkat urgensi tinggi di Indonesia adalah mesin listrik dan pesawat mekanik serta bahan baku berupa plastik, bijih plastik, hingga baja.
Patokan kedua, pemerintah juga perlu memastikan bahwa seleksi impor ini tak bertentangan dengan instrumen dagang yang berlaku dengan negara lain. Jika nanti seleksi impor dilakukan dengan kuota atau tarif, maka negara lain bisa membalas perbuatan Indonesia.
"Bahkan nanti kasusnya bisa dibawa ke World Trade Organization," imbuh dia.
Seleksi impor barang modal dan bahan baku memang mudah melongsorkan defisit. Tetapi, risikonya juga terbilang besar.
Maka dari itu, Eric menyarankan pemerintah untuk membatasi impor bahan konsumsi yang sebetulnya bisa diproduksi di dalam negeri seperti bahan pangan. Meski nilai barang konsumsi hanya US$7,17 miliar sepanjang lima bulan pertama 2018, tetap saja segala pengurangan impor terasa penting di saat genting seperti ini.
"Bahan baku dan barang modal memang lebih sulit untuk dibatasi karena ketergantungan Indonesia yang relatif besar ke impor barang-barang kategori ini," jelas dia.
Perbaikan neraca perdagangan tentu berdampak positif pada cadangan devisa. Namun, selain neraca perdagangan, pemerintah juga bisa fokus di kebijakan moneter.
Ia bilang, defisit transaksi berjalan seharusnya bisa dikompensasi dengan surplus di neraca modal dan finansial yang tergantung dari investasi riil, portfolio investasi asing, dan investasi lainnya. Namun, di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian, pemerintah bisa fokus dalam meningkatkan investasi riil demi memupuk devisa.
Terlebih, pertumbuhan investasi riil masih tercatat dua digit. Hingga kuartal I kemarin, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sebesar Rp185,3 triliun atau naik 11,8 persen dibanding tahun seblumnya yaitu Rp165,8 triliun.
"Jadi ke depan, paket kebijakan harusnya bisa mendorong
foreign direct investment (investasi langsung asing)," tutup Eric.
(lav/agi)