Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak upaya yang dilakukan pemerintahan Presiden
Joko Widodo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada Semester pertama tahun ini. Salah satunya dengan mendongkrak konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi andalan tetapi tengah lesu darah.
Pertumbuhan konsumsi yang lambat di kuartal pertama tahun ini, membuat pemerintah megap-megap. Cara instan pun ditempuh dengan mempercepat penyaluran bantuan sosial (bansos) dan menaikkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan
gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada semester pertama terangkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi semester I tahun ini tetap cemerlang di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian global.
Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi semester I ini bisa mencapai 5,1 persen, membaik dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni 5,01 persen. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mendukung optimisme pemerintah.
 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2018. (Dok.BPS) |
Pertama, ia yakin konsumsi rumah tangga akan lebih baik seiring inflasi yang terjaga dan penggelontoran belanja bantuan sosial oleh pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahunan hingga Juni mencapai 3,12 persen secara tahunan. Penyaluran belanja bantuan sosial juga sudah mencapai Rp45,1 triliun atau naik 75 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu Rp25,8 triliun.
Kedua, Pertumbuhan Modal Tetap Bruto (PMTB) diyakini tumbuh lebih baik, berkaca pada realisasi kuartal I 2018 sebesar 7,95 persen. "Kami optimistis setelah melihat pertumbuhan PMTB kemarin yang mencapai titik tertingi sejak 2012," jelas Sri Mulyani.
Ketiga, realisasi belanja pemerintah di semester I juga tercatat meningkat dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya. Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi belanja per semester I sudah tercatat Rp944 triliun atau meningkat 5,7 persen dibanding tahun sebelumnya Rp893,3 triliun.
Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menutup kinerja neraca perdagangan yang tengah mengalami defisit.
Neraca perdagangan Indonesia dalam enam bulan pertama 2018 mengalami defisit US$1,02 miliar atau berbanding terbalik dibanding tahun lalu yang mengalami surplus US$7,66 miliar. Pertumbuhan ekspor yang sebesar 10,03 persen secara tahunan tak sebanding dengan kenaikan impornya yang mencapai 23,06 persen.
Meski demikian, Sri Mulyani menilai kondisi ini hanya musiman karena antisipasi menjelang idul fitri dan ada beberapa kali kegiatan impor yang sifatnya insidentil. "Tapi kami memiliki tugas untuk memperkuat struktur industri, terutama dari sektor orientasi ekpsor dan mengurangi impor barang modal dan barang perantar," jelas dia.
Di tengah optimisme Sri Mulyani, ekonom menilai kenaikan pertumbuhan ekonomi hingga pertengahan tahun ini cukup berat. Apalagi, ada langkah stabilisasi moneter yang tengah dijalankan oleh Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan di penghujung semester I ini.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan mengatakan seharusnya kinerja semester I ini bisa terdorong dengan momen yang terjadi pada kuartal II seperti lebaran, Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang semakin besar, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.
Kendati demikian, konsumsi masyarakat diprediksi masih landai dilihat dari pertumbuhan jumlah uang beredar yang terlihat melambat di awal kuartal II. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa jumlah uang beredar M2 di bulan Mei tercatat tumbuh 6,1 persen ke angka Rp5.436,6 triliun. Angka ini melambat ketimbang pada bulan April sebesar 7,5 persen.
Indikator lain di luar konsumsi ternyata terbilang adem ayem saja. Ia meramal pertumbuhan investasi akan stagnan karena investor masih kurang percaya diri menanamkan modalnya di Indonesia karena sentimen global.
Selain itu, tingginya nilai impor juga bikin defisit neraca perdagangan semakin terdesak.
Padahal menurutnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal dua adalah pertaruhan utama dalam menakar kemampuan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun mendatang. Jika pertumbuhan ekonomi hingga pertengahan tahun ini di luar ekspektasi, kepercayaan investor terhadap Indonesia bisa makin goyah.
"Makanya kami pun sebetulnya belum menghitung dengan pasti berapa angka pertumbuhan ekonomi di semester I ini. Karena kami juga mencari, sebetulnya apa faktor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi pada semester I ini," jelas Anton.
Di tengah indikator Produk Domestik Bruto (PDB) yang disebutnya tak pasti, pemerintah seharusnya bisa mendorong pertumbuhan lewat pengeluaran pemerintah.
Ini bukan berarti pemerintah harus lebih banyak belanja pada semester I. Namun, pemerintah harus jeli dalam melihat belanja yang potensial dalam menggerakkan ekonomi hingga ke tingkat bawah.
Ia sendiri sempat menaruh harapan pada penyaluran dana desa yang sebagian anggarannya fokus untuk penciptaan lapangan kerja (cash for work). Apalagi, pada semester I kemarin penyalurannya sudah mencapai 60 persen dari pagu anggaran Rp60 triliun. Jika dilakukan dengan tepat, ia yakin efek penggandanya bisa membantu pertumbuhan ekonomi di semester I ini.
"Kalau begini, memang harus ada stimulus dari segi anggaran. Cari pos anggaran yang spending-nya bisa cepat, tapi punya dampak yang luas. Dan ini bisa menjadi sentimen baik bagi investor, karena investor gemar menanti hal yang bisa dilakukan pemerintah, yang sekiranya bisa menopang pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengingatkan pemerintah agar tak terlampau optimistis terlebih dulu. Ia bilang, ekspor neto dan investasi akan menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di semester I kali ini. Ini lantaran rupiah yang mengalami depresiasi sebesar 5,72 persen dalam enam bulan, sehingga investor kembali menghitung-hitung penanaman modalnya di Indonesia.
Sementara dari sisi anggaran, pos belanja modal malah masih tertahan. Padahal, belanja modal, khususnya infrastruktur, sangat penting karena bisa memberikan efek pengganda yang cukup banyak. Sayangnya, belanja modal pemerintah malah di angka Rp40,7 triliun pada semester I atau turun 14,2 persen dibanding penyerapan tahun lalu yakni Rp47,5 triliun.
"Intinya fiskal belum efektif dalam memberi stimulus pada ekonomi," ujarnya.
Namun demikian, pemerintah masih bisa memperbaiki pertumbuhan ekonomi pada semester II dengan menghembuskan sentimen yang positif.
ertama, sebisa mungkin pemerintah tak terlalu kelihatan nafsu dalam mengejar target pajak di semester II meski memang biasanya upaya penerimaan pajak dilakukan di penghujung tahun. Ini demi menciptakan perliaku konsumsi yang lebih kondusif.
Kedua, tentu pengendalian impor demi memperbaiki neraca perdagangan yang defisit pada semester I. Selain itu, tentu pemerintah harus bergegas merealisasikan janji dalam memberikan insentif fiskal bagi pelaku ekspor seperti harmonisasi tarif hingga rencana mini tax holiday untuk pelaku ekspor.
Hanya saja, langkah tersebut tentu sudah terlambat dilakukan pada semester I kemarin sehingga ia yakin pertumbuhan ekonomi maksimal hanya di angka 5,1 persen, sesuai proyeksi pemerintah. "Kalau 5,2 persen sudah terlalu
overshoot," pungkasnya.
(agi)