Jakarta, CNN Indonesia -- Para walikota seluruh Indonesia berbondong-bondong menemui
Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Pada awal pekan ini, mereka menyuarakan aspirasinya terkait kebutuhan dana kelurahan. Ini seiring masalah perkotaan yang cukup kompleks, seperti kemiskinan, kemacetan lalu lintas, hingga persoalan kriminalitas.
Walikota meminta Jokowi menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kelurahan layaknya dana desa. Walikota Tangerang Selatan sekaligus Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany mengatakan keuangan pemerintah daerah terbatas, sehingga tak mampu mengatasi seluruh masalah tersebut.
Di sisi lain, tingkat kemiskinan di kota memang lebih sedikit dibanding desa. Hanya saja, tingkat ketimpangannya cukup mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di kota sebesar 7,02 persen masih lebih kecil dibanding desa yakni 13,2 persen. Namun, tingkat ketimpangan, yang diwakili oleh rasio gini di kota sebesar 0,4 masih lebih tinggi dibanding desa yang hanya 0,324.
"Sehingga kami meminta kepada presiden membuat kebijakan bahwa bantuan keuangan tidak hanya pada desa, tetapi juga ke kelurahan," terang Airin.
Namun, membandingkan dana kelurahan dengan dana desa sebetulnya juga kurang elok. Sejatinya, menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dana desa ditujukan untuk memberi kesempatan lebih besar agar desa menjadi mandiri. Hal ini dirasa kurang tepat jika ditujukan bagi kelurahan, di mana permasalahannya bukan lagi soal otonomi dan kemandirian.
Jika memang dana kelurahan akan digulirkan, tentu harus ada rambu yang jadi pembeda dengan tujuan dana desa. Terlebih, konsep dana kelurahan yang disampaikan gerombolan walikota ini masih mengawang-ngawang.
Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan pemerintah memang sudah perlu mengalokasikan anggaran khusus bagi permasalahan di perkotaan.
Kemiskinan harus dipandang sebagai fokus utama dari alokasi anggaran itu. Sebab, karakteristik kemiskinan kota (urban poverty) ini terlihat rumit untuk diurai.
Menurutnya, urban poverty bisa menjadi 'duri dalam daging' karena 55 persen penduduk Indonesia bermukim di perkotaan. Selain itu, potensi kelompok miskin di perkotaan bisa semakin besar lantaran urbanisasi. Penduduk miskin datang ke kota demi mencari penghasilan yang layak, namun sayang impiannya pupus karena persaingan di kota yang cukup ketat, dan malah menjadi 'beban' wilayah perkotaan.
Tetapi, permasalahan kemiskinan ini tentu tidak berakar pada manajemen kelurahan. Terlebih, satu kelurahan di kota yang cukup padat tentu berbeda dengan kelurahan di kota lainnya.
Makanya, ia mengaku sangsi jika menggelontorkan dana untuk tiap kelurahan adalah kebijakan yang tepat demi mengatasi urban poverty tersebut.
"Sebetulnya sangat wajar pemerintah mengeluarkan anggaran demi menangani skema kemiskinan di perkotaan. Tapi apakah dana kelurahan ini adalah skema efektif, di mana sebelumnya sudah ada program pusat seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)," jelasnya.
Ia juga ragu bahwa intervensi langsung dari pusat untuk kelurahan ini harus dilaksanakan serentak layaknya dana desa. Sebagai langkah bijak, pemerintah bisa fokus ke beberapa kota saja yang punya masalah kompleks terlebih dulu baru bergerak ke kota lainnya.
Selain tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu langkah ini juga efektif dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.
"Misalnya kota dengan daerah kumuh yang lebih banyak dan pendapatan yang lebih kecil, itu bisa menjadi sasaran yang lebih khusus. Jangan seperti dana desa di awal-awal programnya. Anggarannya dipukul rata, di sisi lain juga pemerintah ada keterbatasan anggaran," jelas dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto berpendapat dana kelurahan demi mengatasi kemiskinan dan ketimpangan perkotaan memiliki tingkat urgensi minim. Menurutnya, pembentukan pos anggaran baru jangan dulu dilakukan jika pos anggaran yang sudah ada sebelumnya belum dirasa optimal.
Pemberdayaan kelurahan melalui suntikan dana pemerintah memang bisa mengatasi kemiskinan tapi tidak serta-merta mengurangi ketimpangannya. Sebab ada potensi peningkatan pendapatan si kaya akan jauh melebihi pendapatan si miskin.
Dengan demikian, menurut dia, sebelum pemerintah intervensi lewat anggaran, harus ada sebuah sistem, di mana si orang super kaya bersimbiosis mutualisme dengan kelompok miskin kota.
 Potret kemiskinan di perkotaan. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Lebih gampang seperti ada kebijakan seperti Peraturan Daerah (Perda) bahwa CSR perusahaan di kota harus menyasar ke masyarakat miskin kota. Nanti sebagai timbal balik ada insentif pajak daerah. Sebenarnya ada banyak inovasi yang dilakukan pemerintah kota sebelum meminta anggaran dari pemerintah pusat," jelas dia.
Sama seperti Faisal, Eko menilai permasalahan kota yang kompleks bukan berhulu dari manajemen kelurahan. Sehingga, penyaluran dana ke kelurahan ini dianggapnya tidak tepat.
Terlebih, sistem penyaluran dana ke kelurahan ini artinya menambah panjang rantai birokrasi. Sebetulnya birokrasi pencairan dana ini tak usah dikeluhkan asal sistemnya juga mudah.
"Tapi belajar dari pengalaman sebelumnya, semakin panjang birokrasi ya semakin gagal programnya," jelas dia.
Bagi pemerintah pusat, pemberian dana kelurahan ini tentu memiliki efek elektabilitas, apalagi di tahun-tahun politik. Namun di sisi lain, pemerintah tetap harus realistis. Jika ada satu pos anggaran baru, tentu pemerintah juga harus mencari dananya, apakah itu ditutup melalui penerimaan negara maupun pembiayaan eksternal.
"Tapi ini juga kan baru aspirasi. Sebetulnya tidak apa-apa juga, asal yang penting, kalau jadi, dananya bisa efektif," pungkas Eko.
(lav)