Jakarta, CNN Indonesia -- Bak kejatuhan durian runtuh, emiten tambang
batu bara tak ada habisnya mendapatkan sentimen positif dari pasar.
Usai penandatanganan Perjanjian Pendahuluan
(Head of Agreement/HoA) pemerintah dengan
Freeport Mc-Moran beberapa waktu lalu disertai tingginya harga komoditas batu bara, emiten tambang batu bara kini semakin di atas angin karena pemerintah berencana menghapus kebijakan
Domestic Market Obligation (DMO).DMO merupakan kewajiban produsen batu bara untuk menjual 25 persen dari total produksi batu baranya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri sektor ketenagalistrikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui aturan DMO, perusahaan batu bara wajib menjual 25 persen hasil produksinya dengan harga US$70 per metrik ton. Alhasil, produsen tak bisa menjual 25 persen batu baranya dengan harga pasar yang sedang melambung saat ini.
"Jadi kalau aturan DMO dihapus, emiten tambang batu bara bisa saja mengekspor 100 persen batu baranya dan bisa jual dengan harga pasar," ungkap Analis Royal Investium Sekuritas Wijen Ponthus kepada
CNNIndonesia.com, Senin (30/7).
Saat ini, harga batu bara stabil di atas US$100 per metrik ton. Wijen merinci, harga batu bara di bursa komoditas New Castle untuk kontrak Juli 2018 berada di angka US$119 per metrik ton, sedangkan kontrak Agustus 2018 sebesar US$115 per metrik ton.
"Makanya ini akan berdampak pada perusahaan yang ekspornya besar," kata Wijen.
Wijen menyebut rencana pencabutan kebijakan DMO akan berdampak positif terhadap PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Tak pelak, ketiga saham emiten ini melompat, merespons rencana pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan DMO.
Pada penutupan perdagangan Jumat (27/7) kemarin, harga saham Bukit Asam menguat 3,84 persen ke level Rp4.600 per saham, Indo Tambangraya Megah menguat 3,11 persen ke level Rp29 ribu per saham, dan Bumi Resources menguat 5,65 persen ke level Rp262 per saham.
Setali tiga uang, Analis BCA Sekuritas Achmad Yaki mengungkapkan jika kebijakan DMO benar-benar dihapus oleh pemerintah, maka produsen batu bara bisa menambah kuota penjualan ekspornya.
Hal itu jelas akan menambah keuntungan perusahaan batu bara berkali-kali lipat. Bukan hanya karena harga komoditasnya yang sedang tinggi, tapi juga karena nilai tukar rupiah yang sedang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Untuk perusahaan batu bara jika rupiah melemah akan semakin positif karena pendapatan mereka biasanya berbentuk dolar AS," terang Achmad.
Seperti diketahui, belakangan ini nilai tukar rupiah terus melemah dan sempat menyentuh Rp14.500 per dolar AS. Namun, pada akhir pekan lalu rupiah ditutup menguat tipis 0,32 persen ke level Rp14.417 per dolar AS.
Maka itu, Achmad optimistis harga saham emiten tambang batu bara akan menanjak dalam jangka pendek. Menurutnya, harga saham Bukit Asam berpotensi ke level Rp4.750 per saham, Bumi Resources ke level Rp290-Rp300 per saham, dan Indo Tambangraya ke level Rp30.500 per saham.
Jika diperhatikan, mayoritas pendapatan dari Bukit Asam sendiri pada semester I 2018 berasal dari penjualan ekspor. Total penjualan perusahaan pada paruh pertama tahun ini sebesar Rp10,52 triliun. Rinciannya, penjualan ekspor sebesar Rp5,38 triliun dan domestik Rp5,14 triliun.
Sebelumnya, Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengakui pelemahan nilai tukar rupiah tentu berdampak positif bagi kinerja perusahaan. Hal ini karena penjualan ekspor sehingga pendapatan berbentuk dolar AS.
"Tentu dampak positif, tadinya kan Rp13.900 per dolar AS sekarang kan Rp14 ribu per dolar AS. Pengeluaran kami bentuk dolar AS juga kecil jadi bagus," ucap Arviyan belum lama ini.
Sementara itu, Bumi Resources belum merilis laporan keuangan periode semester I 2018. Namun, jika mengulik laporan keuangan perusahaan pada kuartal I 2018, penjualan Bumi Resources mayoritas masih domestik.
Bumi Resources mencatatkan penjualan sebesar US$310,47 juta pada tiga bulan pertama tahun ini. Angka itu terdiri dari penjualan ekspor sebesar US$127,91 juta, lokal sebesar US$181,73 juta, dan penjualan jasa sebesar US$825 ribu.
Adapun, Indo Tambangraya Megah tak secara gamblang memaparkan jenis penjualannya dalam laporan keuangan yang dipublikasikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Waspadai Tarik Ulur PemerintahMeski sedang di atas angin, Wijen mengingatkan agar pelaku pasar tetap memperhatikan perkembangan kajian pemerintah dalam wacana penghapusan kebijakan DMO ini. Pasalnya, pemerintah juga sempat bimbang dalam menetapkan kebijakan DMO beberapa waktu lalu.
Tarik ulur yang dilakukan pemerintah rentan membuat ketidakpastian bagi pasar.
"Dulu sebelum penetapan kebijakan DMO harga saham tambang sudah turun signifikan tapi kebijakan tarik ulur," ujar Wijen.
Untuk itu, ia tak merekomendasikan pelaku pasar untuk melakukan investasi jangka panjang pada saham emiten tambang batu bara sebelum pemerintah memberikan kepastian terhadap kebijakan DMO.
"Jadi
trading buy jangka pendek saja. Kalau mau jangka panjang nanti dulu, tunggu
fix dulu. Waspadai sikap pemerintah," jelas Wijen.
Analis Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe menambahkan emiten batu bara perlu mengantisipasi rencana pencabutan kebijakan DMO karena pengusaha akan dikenakan kewajiban pembayaran US$2-3 per ton sebagai kompensasi penghapusan kebijakan DMO.
Kewajiban pembayaran itu tak akan menjadi persoalan selama harga batu bara di atas US$100 per metrik ton atau di atas harga DMO, yakni US$70 per metrik ton.
"Kalau harga batu bara turun di bawah US$70 per metrik ton itu akan menjadi negatif," terang Kiswoyo.
Hal ini disebabkan harga batas bawah atau batas aman batu bara bagi pengusaha berada di level US$70 per metrik ton.
(agi)