ANALISIS

Tak Usah Panik Terseret Krisis Ekonomi Turki

Agustiyanti | CNN Indonesia
Selasa, 14 Agu 2018 10:55 WIB
Indonesia tak perlu merisaukan gejolak ekonomi di Turki bakal berimbas ke dalam negeri karena secara fundamental ekonomi kita kuat.
Ilustrasi. (REUTERS/Murad Sezer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Krisis ekonomi yang saat ini dialami Turki akibat kejatuhan nilai tukar mata uangnya lira, mungkin sekilas mirip dengan penyebab krisis yang pernah melanda kawasan Asia pada 1998 lalu.

Krisis tersebut diawali oleh kejatuhan nilai tukar mata uang Thailand, baht yang kemudian menyeret ekonomi negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.

Kendati demikian, kedua kondisi tersebut dinilai berbeda. Indonesia pun tak perlu panik dengan dampak yang mungkin timbul akibat krisis pada negara yang terletak di kawasan negara Eurasia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelitianingsih mengaku, jatuhnya lira Turki memang mengancam mata uang negara emerging market lainnya, termasuk Indonesia. Namun, ia yakin pengaruhnya pada perekonomian Indonesia tak akan terlampau besar.

"Ini jelas jauh beda dengan krisis ekonomi 1998. Kalau dulu, kita terseret dengan negara yang regionalnya sama, sekarang ini jauh dan kondisi fundamental kita juga jauh berbeda," ujar Lana kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/8).

Menurut Lana, krisis ekonomi di Turki terjadi karena kesalahan pemerintahan yang otoriter. Ini mirip dengan kondisi ekonomi pada 1998.



Krisis keuangan yang kini membelit Turki pun menurut dia, mungkin berdampak pada negara-negara sekitarnya yang memiliki hubungan dagang dan investasi yang erat. Namun, untuk Indonesia, hubungan dagang dan investasi keduanya terbilang minim.

Berdasarkan data BPS, total perdagangan Indonesia dan Turki pada tahun 2017 hanya mencapai US$1,7 miliar atau sekitar Rp23,8 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS).

"Mungkin yang akan terpapar itu negara yang punya hubungan dagang dan utang yang besar, seperti beberapa negara di Eropa. Kalau kita, hubungan dagang dengan mereka sangat kecil, utang tidak ada," terang dia.

Meski demikian, sentimen yang dibawah Turki pada mata uang negara berkembang tetap perlu diwaspadai. Namun, ia yakin perekonomian Indonesia dan negara Asia lainnya bakal mampu menghadapi tekanan dari investor.

"Krisis 2008 saja yang lebih besar, kita bisa lewati dengan baik. Waktu itu rupiah bahkan sempat nyaris Rp15 ribu per dolar AS, tapi memang pertumbuhan ekonomi yang dikorbankan. Tidak apa-apa yang penting nilai tukar stabil," terang dia.

Sementara, ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede menilai efek domino dari krisis Turki tetap perlu diwaspadai terutama pada pergerakan nilai tukar rupiah.



"Memang mesti diantisipasi efek dominonya. Lira anjlok efeknya langsung ke Eropa karena hubungan dagang dan investasinya besar. Euro lalu melemah, akibatnya dolar menguat dan rupiah kena imbas," terang dia.

Pada perdagangan kemarin, Rupiah anjlok hingga 130 poin ke level Rp14.608 per dolar AS. Pagi ini, rupiah kembali bergerak melemah, bahkan sempat menyentuh level Rp14.630 per dolar AS.

Joshua pun menilai krisis turki dapat merambat ke negara lainnya, terutama pada negara di regional yang sama. Untungnya, kendati sama-sama negara emerging market, hubungan dagang dan investasi antara Indonesia dengan Turki terbilang tipis.

"Tapi saya lihat bank sentral Turki sudah mulai mengeluarkan beberapa langkah. Kita harapkan (ekonomi Turki) akan membaik," terang dia.

Joshua juga menampik potensi krisis Turki yang bakal berakhir seperti krisis di Asia pada 1998 yang turut menyeret Indonesia. Pasalnya, kondisi fundamental ekonomi dan cadangan devisa Indonesia dan negara-negara di Asia lainnya saat ini jauh lebih baik dibanding 1998.

"Indikasinya memang mirip (kejatuhan nilai tukar mata uang). Tapi saya harap dampaknya tidak akan sampai separah itu," jelas dia.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER