
Indonesia-AS Rampungkan Sengketa Dagang Lewat Jalur Bilateral
Tim, CNN Indonesia | Selasa, 02/10/2018 18:41 WIB

Zurich, CNN Indonesia -- Pemerintah memastikan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia terkait impor hortikultura dan produk hewani akan diselesaikan melalui kesepakatan bilateral.
Hal ini dilakukan setelah persoalan sengketa produk hortikultura, hewan, dan produk hewan sampai ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) beberapa waktu lalu.
Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WTO, dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, Swiss, Hasan Kleib mengatakan AS memang meminta WTO untuk memberi sanksi retaliasi (pembalasan perdagangan) kepada Indonesia senilai US$350 juta atau Rp4,83 miliar (kurs Rp13.800 per dolar AS).
"Dalam panel yang diajukan oleh AS memang Indonesia dianggap salah, telah melanggar ketentuan WTO, tapi ada kesepakatan dengan AS untuk mengubah undang-undang," ungkap Hasan di Zurich, Selasa (2/10).
Dalam hal ini, untuk peraturan menteri perdagangan (permendag) diberikan waktu selama delapan bulan atau sudah selesai pada Juli 2018 kemarin. Sementara itu, masih ada Undang-Undang (UU) yang harus diubah dan AS setuju untuk memberi waktu dalam 19 bulan ke depan.
"Karena kan bukan hanya permendag, tapi juga peraturan menteri pertanian. Itu yang diminta diubah. Sudah kami minta untuk revisi, karena ada yang menurut AS masih kurang," jelas Hasan.
Sebelumnya, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan pemerintah telah merevisi aturan tersebut, tetapi memang AS masih keberatan.
"Permentan dan permendag itu sudah diubah, tapi mungkin mereka masih keberatan, sehingga mereka kembali menggugat ke WTO untuk dibahas kembali," sebelumnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah mengubah aturan Permendag Nomor 64 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Lalu, Permendag Nomor 65 Tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendag 59 Tahun 2016 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan.
Selain itu, terdapat dua permentan yang juga diubah, yakni Permentan Nomor 23 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, Permentan Nomor 24 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Lebih lanjut Hasan menegaskan AS tak bisa serta-merta memberlakukan sanksi retaliasi kepada Indonesia sebesar US$350 juta, sebab angka denda tersebut hanya berdasarkan asumsi dari pemerintah AS.
"Jadi pemerintah di sana tanya kepada pengusaha-pengusaha ini kalian rugi berapa dengan aturan di Indonesia itu," ucap Hasan.
Untuk itu, Indonesia masih bisa berdiskusi dengan AS terkait jumlah sanksi retaliasi jika memang waktu perubahan UU yang diberikan kepada Indonesia nantinya telah mencapai batas waktu yang disepakati keduanya.
Dalam hal ini, UU yang dimaksud antara lain Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
"Jadi kami terus negosiasi dengan mereka, kami sudah bergerak, tidak ada kesulitan untuk ekspor mereka. Namun memang aturan yang lama masih ada, tapi untuk UU sampai 19 bulan kan sampai 2019," pungkas Hasan. (aud/lav)
Hal ini dilakukan setelah persoalan sengketa produk hortikultura, hewan, dan produk hewan sampai ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) beberapa waktu lalu.
Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WTO, dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, Swiss, Hasan Kleib mengatakan AS memang meminta WTO untuk memberi sanksi retaliasi (pembalasan perdagangan) kepada Indonesia senilai US$350 juta atau Rp4,83 miliar (kurs Rp13.800 per dolar AS).
"Dalam panel yang diajukan oleh AS memang Indonesia dianggap salah, telah melanggar ketentuan WTO, tapi ada kesepakatan dengan AS untuk mengubah undang-undang," ungkap Hasan di Zurich, Selasa (2/10).
Dalam hal ini, untuk peraturan menteri perdagangan (permendag) diberikan waktu selama delapan bulan atau sudah selesai pada Juli 2018 kemarin. Sementara itu, masih ada Undang-Undang (UU) yang harus diubah dan AS setuju untuk memberi waktu dalam 19 bulan ke depan.
"Karena kan bukan hanya permendag, tapi juga peraturan menteri pertanian. Itu yang diminta diubah. Sudah kami minta untuk revisi, karena ada yang menurut AS masih kurang," jelas Hasan.
Sebelumnya, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan pemerintah telah merevisi aturan tersebut, tetapi memang AS masih keberatan.
"Permentan dan permendag itu sudah diubah, tapi mungkin mereka masih keberatan, sehingga mereka kembali menggugat ke WTO untuk dibahas kembali," sebelumnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah mengubah aturan Permendag Nomor 64 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Lalu, Permendag Nomor 65 Tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendag 59 Tahun 2016 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan.
Selain itu, terdapat dua permentan yang juga diubah, yakni Permentan Nomor 23 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, Permentan Nomor 24 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Lebih lanjut Hasan menegaskan AS tak bisa serta-merta memberlakukan sanksi retaliasi kepada Indonesia sebesar US$350 juta, sebab angka denda tersebut hanya berdasarkan asumsi dari pemerintah AS.
"Jadi pemerintah di sana tanya kepada pengusaha-pengusaha ini kalian rugi berapa dengan aturan di Indonesia itu," ucap Hasan.
Untuk itu, Indonesia masih bisa berdiskusi dengan AS terkait jumlah sanksi retaliasi jika memang waktu perubahan UU yang diberikan kepada Indonesia nantinya telah mencapai batas waktu yang disepakati keduanya.
Dalam hal ini, UU yang dimaksud antara lain Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
"Jadi kami terus negosiasi dengan mereka, kami sudah bergerak, tidak ada kesulitan untuk ekspor mereka. Namun memang aturan yang lama masih ada, tapi untuk UU sampai 19 bulan kan sampai 2019," pungkas Hasan. (aud/lav)
ARTIKEL TERKAIT

Starbucks Ubah Struktur Perusahaan dan Kurangi Tenaga Kerja
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Potensi Kenaikan Suku Bunga akan Bebani Pergerakan IHSG
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Perang Dagang Memanas, AS dan China Mulai Berbalas Tarif
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Perang Dagang, China Tak Lemahkan Yuan Demi Dorong Ekspor
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Dubes AS Klaim Dukung Divestasi Saham Freeport
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Antisipasi Kenaikan Suku Bunga Fed akan Hambat Penguatan IHSG
Ekonomi 1 tahun yang lalu
BACA JUGA

Ketika Trump Ucapkan Terima Kasih pada Iran
Internasional • 09 December 2019 20:56
Korea Utara Hina Trump Pria Tua yang Labil
Internasional • 09 December 2019 20:13
Empat Roket Hantam Pangkalan Militer AS di Irak
Internasional • 09 December 2019 16:03
Insiden Penembakan, AS Diminta Berhenti Latih Tentara Saudi
Internasional • 09 December 2019 12:08
TERPOPULER

Kru Garuda Kubu Ari Askhara Banjiri Kantor Erick Thohir Bunga
Ekonomi • 5 jam yang lalu
Sri Mulyani Kaji Sistem Gaji Tunggal untuk PNS
Ekonomi 5 jam yang lalu
Jokowi Kritik Rest Area: Ayam dan Kopinya Itu-itu Saja
Ekonomi 3 jam yang lalu