Jakarta, CNN Indonesia -- Sembilan dari sepuluh
perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan kinerja cemerlang sepanjang kuartal III 2018, berasal dari sektor keuangan, rokok, barang konsumsi, aneka industri, serta perdagangan jasa dan investasi. Hanya satu perusahaan yang mengalami penurunan laba mencapai 20 persen yang berasal dari sektor telekomunikasi.
Data yang dihimpun
CNNIndonesia.com memaparkan PT United Tractors Tbk (UNTR) mencatat kinerja paling moncer. Laba perseroan melejit 60,89 persen menjadi Rp9,07 triliun pada September 2018 dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp5,63 triliun. Kenaikan laba disumbang kenaikan pendapatan sebesar 32,13 persen menjadi Rp61,12 triliun dari Rp46,25 triliun di kuartal III 2018.
Masing-masing unit usaha United Tractors memberi kontribusi positif kepada pendapatan konsolidasi. Kontraktor penambangan menyumbang pendapatan paling besar 47 persen disusul penjualan mesin konstruksi sebesar 35 persen. Sementara kontribusi pertambangan sebesar 13 persen dan industri konstruksi sebesar 5 persen terhadap total pendapatan bersih konsolidasian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan kinclongnya kinerja keuangan UNTR ditopang membaiknya harga komoditas dunia. Kondisi itu juga memberikan berkah pada lini bisnis alat berat.
"Dalam satu dua tahun terkahir harga komoditas cenderung mengalami peningkatan baik batu bara, logam dan lainnya. Harga komoditas cenderung meningkat, karena meningkatnya permintaan di lapangan," kata Reza kepada
CNNIndonesia.com.
Melambungnya kinerja UNTR turut mendorong capaian PT Astra International Tbk (ASII) sebagai induk. ASII mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 16,41 persen menjadi Rp174,88 triliun di kuartal III 2018 dari sebelumnya Rp150,22 triliun. Kenaikan pendapatan mengerek laba produsen otomotif itu menjadi Rp17,07 triliun atau bertambah 20,58 persen dari Rp14,15 triliun.
Sementara itu, perbankan masih mendominasi perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di sektor keuangan. Adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Dari empat bank yang berada dalam jajaran perusahaan dengan kapitalisasi terbesar, BMRI keluar sebagai pemenang dari segi pertumbuhan laba.
Laba BMRI melesat 20,05 persen menjadi Rp18,09 triliun pada September 2018 dari sebelumnya Rp15,06 triliun. Dari sisi pendapatan BMRI juga bertumbuh 7,71 persen menjadi Rp60,89 triliun dari Rp56,54 triliun.
Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido mengungkapkan kinerja BMRI ditopang pertumbuhan pendapatan dari sektor non bunga atau fee based income. Tercatat, fee based income BMRI tumbuh 11,4 persen menjadi Rp18,75 triliun di kuartal III 2018.
"Ada kekuatan dari luar dari net interest BMRI, jadi mereka fokus pada fee based income,misalnya e-money," kata Kevin.
 (CNN Indonesia/Timothy Loen). |
Sementara itu, BBCA berhasil mengantongi laba bersih Rp18,50 triliun naik 9,84 persen dari Rp16,85 triliun. Pendapatan BBCA tumbuh 9,06 persen menjadi Rp79,25 triliun dari sebelumnya Rp72,66 triliun.
Untuk BBRI, labanya bertambah 14,,44 persen dari Rp20,50 triliun di kuartal III 2017 menjadi Rp23,47 triliun tahun ini. Sedangkan pendapatan BBRI naik 8,19 persen menjadi Rp74,11 triliun dari sebelumnya Rp68,04 triliun.
Lalu, BBNI berhasil mengantongi laba Rp11,43 triliun naik 12,61 persen dari 10,15 triliun di kuartal III 2017. Sementara pendapatan BBNI naik 10,30 persen menjadi Rp35,14 triliun dari Rp31,86 triliun.
Kevin mengatakan perbankan akan menghadapi tantangan dalam menjaga biaya dana atau cost of fund di tengah tren kenaikan suku bunga Bank Indonesia. Dari global, kevin memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga hingga tiga kali di 2019.
"Ini jadi catatan, rentan juga bagi perbankan untuk menjaga cost of fund mereka supaya tidak besar. Jadi mau tidak mau banking harus harus mencari cosf of fund murah, contohnya dari giro dan tabungan," ujar Kevin.
Selain tantangan kenaikan suku bunga, Kevin juga menyatakan perbankan menghadapi tantangan dari digitalisasi terutama dari industri keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech).
Kevin juga menyingung capaian kinerja keuangan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). Menurutnya, kinerja HMSP disumbang oleh pertumbuhan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
HMSP mengantongi pendapatan Rp77,53 triliun di kuartal III 2018 atau naik 7,24 persen dari sebelumnya Rp72,29 triliun. Kenaikan pendapatan ini mengerek laba HMSP menjadi Rp9,69 triliun atau bertambah 3,77 persen dari Rp9,33 triliun di kuartal III 2017.
"Bobot paling besar dari SKM kekuatannya sekitar 70 persen dari pendapatan HMSP," kata Kevin.
Di sisi lain, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang merupakan salah satu emiten dengan kapitalisasi terbesar juga mampu mengantongi pertumbuhan pendapatan meskipun tipis yaitu 1,01 persen. Pada Septmebr 2018, pendapatan perusahaan barang konsumsi itu sebesar Rp31,53 triliun dari periode sebelumnya Rp31,21 triliun. Meskipun pendapatan naik tipis, akan tetapi laba UNVR loncat 39,66 persen menjadi Rp7,30 triliun dari Rp5,22 triliun di 2017.
Reza Priyambada mengatakan segmentasi produk UNVR berhasil menjaga kinerja keuangannya. Sebab, UNVR menyediakan produk-produk yang menyesar setiap segmen konsumen.
"UNVR berhasil mencipatakan pasar dalam pasar, artinya dia punya produk segmented, ada di berbagai macam harga. Jadi misalnya ada produk yang untuk kalangan atas ada juga untuk kelangan bawah," kata Reza.
Sementara itu, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) menjadi satu-satunya perusahaan dalam jajaran sepuluh perusahaan dengan kapitalisasi terbesar yang mencatat kinerja kurang memuaskan.
Laba perusahaan telekomunikasi itu merosot signifikan 20,58 persen menjadi Rp14,23 triliun pada kuartal III 2018 dari sebelumnya Rp17,92 triliun. Meski, pendapatan TLKM naik tipis 2,26 persen dari Rp97 triliun menjadi Rp99,20 triliun di kuartal III 2018.
Analis Artha Sekuritas Dennies Christoper Jordan mengatakan adanya perang tarif sejak beberapa bulan lalu ditengarai sebagai penyebab turunnya laba perusahaan. Para penyedia layanan jasa telekomunikasi membanting harga serendah mungkin untuk menrik konsumen, sehingga pendapatan perseroan hanya mampu naik tipis.
"
Revenue (pendapatan) mungkin ada peningkatan, tapi tidak sebanding dengan kenaikan
cost (biaya)," ujar Dennies.
(ulf/lav)