Jakarta, CNN Indonesia -- Bayangan
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sepenuhnya berada di kepala calon Presiden
Prabowo Subianto. Hal itu kemudian didengungkan di depan khalayak dalam pidato kampanyenya, beberapa waktu lalu.
Jika didapuk menjadi Kepala Negara, dia menjanjikan hadirnya swasembada atau kemandirian di berbagai bidang krusial, salah satunya sektor
energi. Dengan demikian, RI tak perlu mengimpor minyak mentah, gas, apalagi batu bara yang katanya berlimpah di Negeri Katulistiwa.
"Kita tidak akan impor apa-apa saudara-saudara sekalian! Kita harus mampu swasembada pangan! Mampu! Kita juga harus dan mampi swasembada energi, swasembada bahan bakar," ujar Prabowo saat menghadiri Deklarasi Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi) di GOR Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, Minggu (4/11) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, Indonesia dikritisi masih jauh untuk mewujudkan kemandirian di bidang energi. Di sektor Bahan Bakar Minyak (BBM), Indonesia masih harus mengimpor menyak mentah, mengingat kebutuhan domestik masih jauh di atas kemampuan produksi dalam negeri.
Berdasarkan data Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rata-rata kebutuhan BBM domestik berada di kisaran 1,6 juta barel per hari (bph). Sementara itu, kemampuan produksi minyak mentah dalam negeri untuk saat ini maksimal 800 ribu barel per hari.
Angka produksi tersebut trennya menurun selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data SKK Migas, pada 2008 lalu, Indonesia mampu produksi minyak sebesar 977 ribu bph. Kemudian, pada 2009, turun menjadi 949 ribu bph, 2010 menjadi 945 ribu bph.
Pada 2011, produksinya turun tajam menjadi 902 ribu bph. Pada 2012, turun lagi menjadi 860 ribu bph, 2013 menjadi 824 ribu bph, 2014 menjadi 789 ribu bph, 2015 786 ribu bph.
Tahun 2016 lalu, sempat terjadi kenaikan menjadi 831 ribu bph. Sayangnya, tahun lalu, kembali turun menjadi 801 ribu bph. Tahun ini, produksi migas Indonesia diperkirakan akan di bawah 800 ribu bph.
PT Pertamina (Persero), perusahaan pelat merah yang bertugas memenuhi kebutuhan BBM, baru memiliki rata-rata produksi minyak mentah 384 ribu bph per September 2018, dari target 400 ribu bph untuk tahun ini. Angka itu masih jauh dari total kebutuhan domestik.
Tak ayal, Pertamina masih harus mengimpor minyak dan produknya. Per Agustus 2018, rata-rata impor minyak mentah perseroan mencapai 351 ribu bph, turun dari rata-rata tahun lalu yang sebesar 360 ribu per bare.
Selain itu, rata-rata impor harian produk BBM yang terdiri dari bensin, minyak Solar dan Avtur hingga Agustus 2018 mencapai 393 ribu bph atau naik 6,2 persen dibanding rata-rata harian sepanjang tahun lalu yang hanya 370 ribu bph.
Direktur Utama PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina di bidang eksplorasi dan produksi, Nanang Abdul Manaf menyatakan sekitar 90 persen dari 300 lapangan migas yang dikelola perusahaan merupakan lapangan tua.
Tak hanya itu, jumlah titik sumur bor atau lapangan produksi minyak yang dikelola perusahaan juga terus menurun selama enam tahun terakhir. Pada 2012, sumur bor perusahaan masih berada di 113 titik. Tahun ini, jumlahnya tinggal 50 titik.
"Tantangan terbesar adalah bagaimana mengatasi decline (penurunan produksi) dari lapangan yang eksisting," ujar Nanang saat menghadiri sebuah acara pekan ini.
Kebutuhan BBM akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah populasi dan kendaraan. Di saat bersamaan, Indonesia menghadapi dilema karena mayoritas lapangan minyak yang berproduksi merupakan lapangan tua atau berusia di atas 40 tahun. Artinya, tanpa perlakuan tertentu, produksi minyak yang dihasilkan sudah memasuki tahap penurunan (decline) secara alami.
Misalnya, Blok Rokan yang telah dikelola PT Chevron Pacific Indonesia sejak 1971, rata-rata produksinya pernah melampaui 1 juta barel per hari pada masa jayanya. Namun, kini, rata-rata produksinya hanya berkisar 200 ribu bph.
 Kilang minyak bojonegoro. (ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo). |
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai harus ditemukan lapangan migas dengan cadangan raksasa untuk meningkatkan produksi minyak domestik secara signifikan. Hal itu tidak akan terjadi tanpa ada eksplorasi.
Sementara itu, menurut Komaidi, jika melihat perkembangan eksplorasi hingga kini yang masih minim temuan, bukan tak mungkin RI menjadi negara yang bergantung pada negara lain untuk pemenuhan bahan bakar, alih-alih menjadi negara yang swasembada BBM.
"Lapangan tua kan sudah lama masalahnya karena untuk lapangan muda yang ditemukan relatif tidak besar. Kalau terus dipertahankan ke depan mungkin bisa 100 persen impor," ujar Komaidi kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (7/11).
Menurut Komaidi, pemerintah belum masif dalam mendorong eksplorasi untuk menemukan cadangan baru. Hal itu tercermin dari minat pengusaha untuk mengelola blok eksplorasi yang ditawarkan dalam lelang masih minim. Padahal, untuk mengubah kondisi tersebut, pemerintah perlu menggalakkan eksplorasi.
Dari 34 blok migas yang ditawarkan melalui lelang reguler tahun ini, hanya enam blok yang akhirnya ditetapkan pemenangnya, dengan mayoritas merupakan blok produksi. Bahkan pada 2015 dan 2016, dari blok yang ada, tidak ada satu blok migas pun yang diserahkan hak kelolanya ke investor.
Menurut Komaidi, kendala terbesar investor adalah ketidakpastian birokrasi di Indonesia yang masih tinggi, baik dari sisi teknis hingga perizinan. Imbasnya, tingkat pengembalian investasi di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan negara lain seperti di Amerika Latin dan
"Eksplorasi ini kan penuh dengan risiko. Risiko itu prinsipnya membutuhkan kepastian misalnya perizinan jelas, fiskal jelas, kemudian kontrak dihormati, aturan lain hukumnya juga jelas. Kita di semua elemen masih belum jelas," ujarnya.
Ambil contoh, proyek pengembangan gas alam cair (LNG) di Lapangan Gas Abadi di Blok Masela. Inpex Corporation mulai mengelola Lapangan Gas Abadi Masela sejak tahun 1998, setelah menandatangani kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) dengan jangka waktu 30 tahun.
Rencana Pengembangan (Pod) pertama blok Masela ditandatangani Pemerintah pada 2010. Kala itu, Inpex memiliki hak partisipasi sebesar 65 persen sedangkan sisanya dikempit oleh mitranya, Shell Upstream Overseas Services Ltd.
Kemudian, pada 2014, Inpex bersama Shell merevisi PoD setelah ditemukannya cadangan baru gas di Lapangan Abadi, Masela dari 6,97 TCF ke level 10,73 TCF.
Di dalam revisi tersebut, kedua investor sepakat akan meningkatkan kapasitas fasilitas LNG dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA secara
offshore. Namun, Pada awal 2016 lalu, Presiden Joko Widodo meminta pembangunan kilang LNG Masela dilakukan dalam skema onshore.
Konsekuensinya, Inpex harus mengulang kembali proses kajian pengembangan LNG dengan skema baru. Hinga kini, Inpex belum bisa memulai konstruksi.
"Kalau bisnis kan begitu ada variabel yang berubah, penyesuaiannya tidak sederhana, pengadaan harus disesuaikan karena pengadaan dua tahun yang lalu dengan pengadaan hari ini tentu sudah berbeda harganya," ujarnya.
Jadi, lanjutnya, tidak sekedar mengubah dokumen, tetapi ada variabel keekonomian yang perlu disesuaikan. Untuk itu, Komaidi menilai pemerintah sebaiknya lebih mengakomodasi kepentingan investor untuk meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan negara lain. Pasalnya, Jika Indonesia akhirnya harus 100 persen mengimpor bahan bakar hal itu tentu akan membebani stabilitas moneter nasional.
"Sekarang saja kita masih ada produksi, impor yang dilakukan untuk minyak saja sudah menekan nilai tukar rupiah dan transaksi berjalan defisit. Itu baru impor sebagian bayangkan jika 100 persen impor," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga. Misalnya, Kementerian ESDM telah berupaya untuk meningkatkan eksplorasi di satu wilayah namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mungkin tidak berpendapat demikian demi kepentingan menjaga lingkungan. Akibatnya, proses perizinan menjadi terhambat.
"Izin kan melibatkan setidak 17 K/L, mungkin dalam konteks Kementerian ESDM sudah sadar tetapi Kementerian LHK belum tentu sudah satu frekuensi karena indikator penilaian kinerjanya kan tidak sama," ujarnya.
Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan minimnya eksplorasi terjadi karena risiko bisnis yang semakin meningkat tetapi tidak diiringi dengan kompensasi yang sebanding.
Peningkatan risiko bisnis terjadi karena wilayah yang berpotensi memiliki cadangan minyak besar saat ini berada di wilayah laut dalam yang membutuhkan modal, teknologi keahlian yang lebih tinggi. Hal itu berbeda dengan kebanyakan lapangan migas yang berproduksi saat ini yang sebagian besar berada di darat (
onshore) ataupun lepas pantai yang dangkal.
"Untuk laut dalam dengan kedalaman 2 ribu hingga 3 ribu meter tentu karakteristik risiko yang berbeda. Tentunya, investor mengharapkan tingkat pengembalian investasi yang lebih tinggi. Mungkin dulu mereka menerima tingkat pengembalian 9 hingga 10 persen, tetapi karena di dalam mereka mengharapkan 12 hingga 14 persen," ujar Fabby.
Untuk membuat investor besar tertarik bisa dilakukan dengan menyesuaikan rezim fiskal di sektor migas dengan profil risiko wilayah yang dieksplorasi. Sementara, pemerintah mengubah skema kontrak bagi hasil dari era pengembalian biaya operasi (
cost recovery) menjadi sistem bagi hasil gross split yang tidak memberikan jaminan pengembalian biaya.
"Untuk lapangan-lapangan baru, praktis investor internasional praktis tidak berminat dengan blok yang ditawarkan dengan skema
gross split," ujarnya.
Memang, sejumlah investor telah bersedia mengadopsi skema gross split. Namun, Fabby mengingatkan bahwa kontrak baru tersebut untuk blok terminasi maupun produksi. Pasalnya, risiko relatif lebih bisa terkendali dibandingkan risiko dari blok eksplorasi.
"Untuk lapangan baru, investasi modal di awal itu besar sekali. Di laut dalam, perusahaan yang memiliki pengalaman dan teknologi itu setidaknya harus menyediakan US$100 juta hingga US$200 juta untuk modal kerja selama tiga hingga empat tahun. Perusahaan nasional berat," ujarnya.
Perusahaan yang bisa menggarap eksplorasi di laut dalam adalah perusahaan kelas dunia yang memiliki pilihan investasi di negara-negara lain. Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan daya saing investasinya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai pemerintah sudah berupaya untuk mendorong kegiatan eksplorasi. Salah satu caranya adalah mewajibkan investor pemenang lelang blok migas untuk mengalokasikan investasi berupa komitmen kerja pasti hingga lima tahun salah satunya untuk eksplorasi.
Dengan cara ini, meski blok eksplorasi dalam lelang belum mendapatkan peminat, pemerintah bisa memastikan kegiatan eksplorasi terus berjalan.
"Komitmen yang telah dikantongi mencapai US$2 miliar. Komitmen itu baru terealisasi setelah kontrak kerja sama berlaku," ujarnya.
Sementara itu, untuk meningkatkan produksi, pemerintah telah menyusun strategi jangka pendek, menengah dan panjang.
Untuk jangka pendek, pemerintah akan mendorong perbaikan teknis pengangkatan minyak di lapangan eksisting (
improve oil recovery), jangka menengah penggunaan teknik pengangkatan minyak
enhanced oil recovery (EOR) di lapangan eksisting. Kemudian, jangka panjang memaksimalkan kegiatan eksplorasi.
(lav)