, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pada 2016 lalu, ia diminta Presiden
membantunya untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa di seluruh Indonesia.
Eko berhasil menduduki kursi menteri tersebut menggantikan Marwan Jafar yang terkena
kabinet pada 2016 lalu. Ia menjadi menteri melalui 'jalur khusus' Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tempatnya bergabung.
Sebelum menjadi menteri, ia pernah dekat dengan Presiden Jokowi. Maklum, ia merupakan anggota dari tim transisi yang dibentuk Jokowi-Jusuf Kalla untuk menyiapkan peralihan pemerintahan dari Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono kepadanya.
Namun sebelum menduduki kursi empuk menteri yang sekarang ini, siapa sangka pria kelahiran Jakarta, 21 Mei 1965 itu ternyata pernah menjadi 'loper koran'. Pekerjaan tersebut ia lakoni ketika menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Pekerjaan mengantar koran dilakukannya agar ia bisa mencukupi kebutuhan selama kulian di Negeri Paman Sam tersebut. Pekerjaan juga dilakoninya supaya kegemarannya jalan-jalan atau
tetap bisa tetap jalan.
Berkat kerja 'sampingannya' itu, Eko berhasil menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Sarjana Elektro dari University of Kentucky di Lexington pada tahun 1991. Tak puas sampai di situ, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana Master of Business Administration ke Institute Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) di Jakarta.
Jauh sebelum gemilang dalam karir dan pendidikan, Eko ternyata pernah mendapat cap anak 'bandel'. Cap tersebut membuatnya kerap pindah sekolah di masa pendidikan menengah atas.
Padahal, Eko merupakan cucu dari ustad di salah satu kampung di Magelang, Jawa Tengah. Seperti apa kisah lengkap Eko Putro Sandjojo di masa lalu hingga kemudian bisa menjadi orang kepercayaan Jokowi?
Berikut petikan wawancara khusus CNNIndonesia.com dengannya beberapa waktu lalu.
Kakek saya hanya ustad di kampung di Magelang (Jawa Tengah). Orang tua saya anak ke-12 dari 12 bersaudara. Orang tua saya termasuk golongan menengah, tapi berasal dari keluarga miskin. Kebetulan orang tua saya sangat berjuang dalam bidang pendidikan.
Beliau dapat beasiswa di Yugoslavia. Saya pikir pendidikan itu yang membantu orang untuk bisa keluar dari kemiskinan. Saya beruntung karena Bapak saya sudah melepaskan diri dari kemiskinan. Upaya tersebut membuat saya bisa keluar negeri. Itulah, saya pikir sekolah adalah hal yang penting untuk dipunyai agar masa depan lebih baik.
Tapi sebelum menjadi seperti sekarang ini, saya sebenarnya anak 'bandel'. Saya jarang masuk sekolah. Saya beberapa kali pindah sekolah, dari SMA 11, pindah ke SMA 70, dan ke SMA 61. Tapi ternyata saya diterima di Politeknik UI yang kerja sama dengan Bank Dunia.
Di situ, ternyata saya juara satu hingga akhirnya bisa sekolah di Amerika tanpa tes. Saya kuliah jurusan Electrical Engineering, lalu mengambil master (program pascasarjana) di jurusan Finance di University of Kentucky di Lexington (Amerika Serikat).
Saat di Amerika, saya dapat beasiswa US$500 per bulan. Tapi saya tidak dikasih uang saku oleh orang tua saya. Itu tidak cukup. Jadi saya antar koran selama empat tahun. Saya juga membetulkan
mobil mahasiswa (Indonesia) yang dapat beasiswa, tapi anak orang kaya. Jadi saya bengkel berjalan selama empat tahun itu juga.
Setelah lulus, saya sempat mengajar dan kerja di Singapura dan Malaysia, sampai akhirnya balik ke Indonesia sekitar 1996. Di Singapura dan Malaysia, dengan
(latar belakang) saya lulusan elektro, saya bekerja di perusahaan elektronika, seperti merakit telepon,
, pakai mereknya General Electric dan Thomson-Houston.
Setelah itu, mungkin karena saya punya gelar master di finance, saya waktu itu masuk juga ke perusahaan perunggasan. Saya diminta untuk perbaiki perusahaan. Sejak saat itu saya lebih banyak berkarir di perusahaan komoditas dan perunggasan.
Terakhir saya menjadi Presiden Director di PT Sierad Produce Tbk. Setelah itu, jelang
(kabinet), partai mungkin diminta untuk mengajukan calonnya dan yang diajukan saya, jadilah saya diterima menjadi menteri desa menggantikan rekan saya (Marwan Jafar, politikus Partai Kebangkitan Bangsa).
Yang saya perhatikan ketika awal jadi menteri, teman-teman di birokasi sebenarnya bagus. Etos kerja dan kemauan mereka untuk berbuat terbaik bagi bangsa tinggi sekali. Mereka ada yang memiliki pendidikan S3 dan S2.
(akuntansi), padahal mereka adalah kepala satuan kerja yang harus mempertanggungjawabkan laporan keuangannya. Kemudian mereka secara manajemen, leadership (kepemimpinan) dan marketing (pemasaran) kurang.
Makanya saya masukan mereka ke (program) Weekend Business School, dari HIPMI Business School kerja sama dengan Harvard. Hasilnya cukup baik. Yang tadinya kami 2014 audit (laporan keuangan kementerian)
(ditolak). Lalu, 2015 jadi WDP (Wajar dengan Pengecualian). Setelah saya sekolahkan, tiga tahun berturut-turut menjadi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Penyerapan anggaran juga naik dari 69 persen ke 94 persen. Tata kelola arsip naik dari
32 jadi 5 (dibandingkan kementerian lain di Kabinet Kerja). Pelayanan publik dan kepatuhan yang dirating oleh Ombudsman itu naik dari ranking 82 jadi 3. Memang prioritas utama dalam sebuah organisasi, aset terpentingnya adalah manusia.
Anda baru pertama kali bekerja di pemerintahan dan langsung menjadi menteri. Seperti apa rasanya menjadi pembantu Presiden dan bagaimana Anda melakukan sinkronisasi kebijakan dan kerja sama dengan menteri lain?
Setiap organisasi ada hirarki, di pemerintahan adalah Presiden. Saya punya tugas melaksanakan visi yang ditetapkan oleh Presiden. Jadi saya harus bisa menangkap visi Presiden dan berusaha menjalankan. Kami tidak boleh
create (menciptakan) visi sendiri, nanti tabrakan.
Begitu pula kepada anak buah (di Kementerian Desa), saya harus memastikan anak buah menjalankan visi presiden yang dibebankan kepada saya, jadi mereka tidak boleh punya visi sendiri. Dalam menjalankan tugas, Presiden selalu menekankan yang dibutuhkan di kabinet bukan superman, tapi superteam, jadi kerja sama itu penting.
Presiden mencontohkan, ada program di masa lalu yang tidak sinkron, sehingga menjadi sia-sia. Contohnya, bangun bendungan, tapi tidak terhubung dengan irigasi. Buat pelabuhan, tapi tidak
connect (terhubung) dengan jalan dan listrik, kan jadi sia-sia.
Nah, Presiden ingin memastikan itu tidak terjadi lagi, sehingga penting untuk koordinasi antar kementerian.
Saya beruntung karena program saya butuh peran dari kementerian lain, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan. Saya beruntung didukung oleh Bapak Ibu Menteri sehingga percepatan pembangunan desa bisa bagus karena kita fokus ke lokus yang sudah kita sepakati bersama. Bahkan selain kementerian terkait, saya libatkan juga dunia usaha.
Presiden meminta Anda menjadi menteri untuk membenahi ketimpangan ekonomi antara desa dan kota dan menumbuhkan perekonomian masyarakat desa. Apa saja yang sudah dilakukan dan seperti hasilnya?
Saya perhatikan desa itu menjadi miskin karena pembangunannya tidak fokus. Mereka tidak konsentrasi kepada satu tapi banyak komoditas. Akhirnya, ya tidak ada
size-nya (kapasitas), tidak ada
economic of skill-nya (keterampilan ekonomi). Produksi melalui mata rantai panjang. Ketika menjual, produknya ada masalah dan tidak jarang harganya malah jatuh karena tidak ada yang menyerap.
Belajar dari pengalaman ini, saya yang kebetulan berlatar belakang komoditas, minta kepala daerah, bupati mengusulkan mau fokus di komoditas apa. Tidak perlu banyak, satu sampai dua saja kata saya.
Contoh, Kabupaten Pandeglang (Banten). Dari 342 desa di wilayah itu, 154 desa masuk kategori tertinggal. Lalu, Bupatinya fokus ingin tanam jagung. Kami minta tolong ke Kementerian Pertanian. Ternyata ada 57 ribu hektare tanah siap ditanami jagung.
Kementerian Pertanian beri bantuan bibit, traktor gratis, Kementerian PUPR bangun jembatan, Kementerian BUMN melalui bank BUMN beri KUR.
Persoalan terakhir, produksi 500 ribu ton jagung di 57 ribu hektare siapa yang serap? Kebetulan, Pandeglang tidak jauh dari Balaraja, Cikupa, dan Cikande. Di sana ada 50 persen pabrik pakan ternak ada di sana. Beberapa perusahaan saya ajak sebagai pembeli, kami buat mata rantainya.
Saat ini, saya dapat laporan dari bupatinya, produksi jagung sudah 500 ribu ton dengan harga rata-rata Rp4.000 per kg. Mereka bisa dapat Rp2 triliun. Apa artinya Rp2 triliun ini? Di 2014, APBD Pandeglang hanya Rp1,8 triliun, PAD Rp180 miliar, tapi dari jagung saja sekarang dapat Rp2 triliun.
Upaya tersebut membuat desa tertinggal di Pandeglang turun dari 154 menjadi 75. Ini model yang kami terapkan ke desa-desa lain juga.
Secara nasional, Presiden Jokowi dalam RPJMN 2014-2019 menargetkan untuk mengentaskan 5.000 desa tertinggal. Berdasarkan Sensus BPS awal tahun ini, kami sudah berhasil mengentaskan hampir 6.500 desa tertinggal, target terlampau. Mudah-mudahan (sampai akhir tahun) bisa 8.000-8.500 desa tertinggal yang jadi maju.
Dalam lima tahun terakhir, peningkatan pendapatan masyarakat desa hampir 50 persen, sudah 47 persen, dari Rp504 ribu per bulan menjadi Rp802 ribu per bulan. Penurunan angka kemiskinan desa menurun lebih cepat dari kota. Angka stunting dari 37,2 persen di 2014, sudah 30,8 persen (2018).
Presiden punya Program Dana Desa, namun program ini dirasa minim dampak karena terlalu fokus untuk pembangunan infrastruktur. Seperti apa Anda melihatnya dan bagaimana seharusnya Dana Desa di pemerintahan selanjutnya?
Dana Desa selama ini memang digunakan untuk infrastruktur karena memang desa membutuhkan itu. Dan perlu dicatat kalau kita buat infrastruktur itu tidak ada cukupnya. Kami takut buat infrastruktur terus, nanti infrastrukturnya kebanyakan, sementara desa tidak punya
income, maka untuk rawat infrastrukturnya tidak cukup.
Makanya sekarang infrastruktur sudah cukup. Presiden mengarahkan agar Dana Desa digunakan untuk pembedayaan SDM dan ekonomi desa, seperti buat BUMDes, desa wisata, dan sebagainya. Sekarang sudah banyak desa wisata yang pendapatan BUMDes-nya jauh lebih besar daripada Dana Desa yang diterima. Bahkan sudah ada beberapa desa yang bayar pajaknya jauh lebih besar daripada dana desa yang diterima.
Selama menjadi menteri, Anda kerap mengunjungi satu desa ke desa lainnya. Kesan apa yang Anda dapat soal pembangunan desa sekarang ini?
Rata-rata mereka mengapresiasi Presiden Jokowi karena memberikan Dana Desa. Sampai 2014 masih ada 5.000 desa yang tidak pernah mendapatkan dana pembangunan dari pusat. Tapi dengan Dana Desa dipastikan semuanya akan dapat.
Awal-awal ada protes memang, kenapa jalan yang dibuat di dusun yang ini dulu baru dusun yang lain. Padahal itu hasil musyawarah. Kan tidak bisa sekaligus.
Alhamdulilalh lima tahun ini, jalan desa lebih bagus daripada jalan kota, kabupaten, dan provinsi. Masyarakat mengapresiasi adanya air bersih, MCK, dan sebagainya.
Yang agak berat kalau saya kunjungan ke desa itu wajib makan, jadi kalau satu hari berkunjung ke 10 desa, saya bisa makan 10 kali. Berat badan saya naik, susah untuk diet.
Bila Presiden Jokowi masih memberi kepercayaan kepada Anda untuk menjadi Menteri Desa dan PDTT, apakah Anda bersedia? Bila tidak diberi amanah lagi, sekiranya apa yang akan Anda lakukan ke depan?
Itu nanti urusan Presiden saja. Jadi menteri enak, bisa punya nama, bisa berbuat, bisa punya legacy (warisan kebijakan), tapi tidak bisa cari uang. Kalau dunia usaha bisa (cari uang), jadi ada pro kontranya. Latar belakang saya di dunia usaha, ya saya akan balik urus usaha.
O iya, di sela kesibukan karir baik di perusahaan maupun saat menjadi menteri, kan waktu Anda kerap tersita, bagaimana dengan keluarga?
Saya dari kecil sudah biasa kerja sampai malam. Keluarga saya sudah terbiasa dengan itu. Saya sudah ada pembagian tugas dengan istri saya. Dia melaksanakan tugas, seperti mengajarkan anak, urusan keluarga, itu praktis di-
take care (diurus) oleh istri saya semua.
It's a good time. Jadi saya urus kerjaan saja, istri saya urus yang di luar pekerjaan saya, termasuk ketika ada mobil tabrakan, yang urus istri saya.
Kebetulan, anak-anak saya sudah besar-besar sekarang. Yang pertama, sudah lulus, dia bekerja di Mandiri Sekuritas. Anak kedua masih kuliah di Australia, sebentar lagi lulus. Tinggal yang ketiga, masih kelas 3 SMP. Mereka tidak keberatan dengan pekerjaan saya, karena istri saya bisa mengisi role itu. Kami tetap bisa bertemu untuk makan bersama,
travelling (melakukan perjalanan). Kalau waktunya tidak panjang, kami
dinner (makan malam) atau menonton film.
Biasanya berpergian bersama istri dan anak ke mana?
Anak saya sudah besar. Biasanya mereka yang informasikan, sudah bisa tentukan, mereka yang booking hotel, atau biar murah sewa apartemen, sewa mobil, beli tiket pesawatnya. Mereka yang urus semua. Tapi kalau
travelling biasanya kami
hunting kuliner juga. Lalu anak saya suka yang ada
roller coaster-nya. Kami suka coba kuliner dan ingin dapat pengalamannya, jadi hampir semua macam kami pernah coba. Tapi saya lebih suka makanan sehat, yang tidak begitu banyak lemak dan tidak digoreng.
Kalau soal menonton, kadang Netflix. Tapi nonton di bioskop itu selalu beda ya suasananya. Kami suka menonton genre apa saja, yang penting ada cerita yang kuat. Misalnya, kalau film Indonesia saya suka Habibie Ainun. Film luar, saya suka Godfather, Star Wars, James Bond, Mission Impossible. Saya juga suka musik, seperti Rolling Stone, Gun n Roses, dan Metalica.
Selain itu, apakah Anda memiliki hobi lain?
Saya suka olahraga sepeda. Awalnya sepeda gunung, tapi sejalan dengan umur, saya jadi pindah ke road bike. Biasanya setiap minggu, saya ada rumah di BSD, kami keliling, bisa 50 kilometer berkeliling. Setiap tahun saya ikut road trip, misalnya di Pulau Bangka Belitung, Lombok, Bali, Jakarta-Bandung, Padang, biasanya kita ke Perth, Melbourne, Tokyo juga bersama komunitas dari semua kalangan. Tapi sejak jadi menteri tapi tidak pernah lagi sepedaan. Ada 17 sepeda saya menganggur saja di rumah.
Selain sepeda, saya suka motor. Kantor saya di Kalibata (Kementerian Desa dan PDTT) macet, jadi patwal saya suka kasih tahu. Kalau macet, saya naik motor dari rumah ke kantor. Pengawal saya juga pakai motor, setiap minggu pasti ada sekali. Begitu juga dengan mobil.
Dulu saya hobi 'ngebut', tapi sejak jadi menteri tidak pernah lagi. Mobil koleksi saya kebanyakan tua, rata-rata sudah 16 tahunan.
Anda terlihat cukup mesra dengan istri Anda, boleh diceritakan sedikit bagaimana Anda bertemu, mengenal, hingga akhirnya membina rumah tangga bersama istri Anda?
Saya kenal istri saya di Amerika. Dia orang Medan (Sumatera Utara), kami satu universitas tapi beda jurusan. Dia jurusan sipil, saya engineering. Saat di Amerika, saya sering ketemu dengan dia, jadi lama-lama suka. Orang Indonesia di sana tidak banyak, jadi kalau ada orang Indonesia ya biasanya saling kenal.
Yang saya suka dari dia adalah baik. Dia sering menemani saya antar koran. Makanya saya tidak berani dengan istri saya karena dia menemani saya dari masih jadi tukang koran. Dulu setelah antar koran, kami menikmati
winter berdua, minum susu coklat bareng, belajar di
library (perpustakaan) bareng,
traveling bareng.
Sampai saat ini masih suka 'pacaran' dengan istri? Apa momen berkesan lain antara Anda dan istri?
Tidak, istri saya jarang bisa pergi tanpa anak-anak. Kalau satu tidak pergi, dia tidak mau. Ya keibuan mungkin ya. Jadi saya lebih sering
family time bersama dia.
Misalnya ketika izin beli sepeda, itu saya rayu dulu. Saya beliin tas dulu, misalnya beli sepeda, kan sudah banyak ya di rumah, jadi tidak ada
reason (alasan) lagi untuk beli. Tapi kan hasrat mau beli, padahal satu sepeda bisa Rp200 juta. Kalau sedang tidak ada
reason, saya beli (sepeda), terus saya taruh di toko. Nanti ketika ada momen, belikan dia tas, saya beliin. Baru setelah itu bawa pulang sepedanya.
Kalau kepada anak, bagaimana Anda menempatkan diri Anda di hadapan mereka?
Dulu orang tua saya terlalu
strong (keras), cara mendidik (anak) lebih
old fashion (konvensional), dengan komunikasi yang
one sided (satu sisi). Saya belajar dari pengalaman orang tua saya ini untuk anak-anak saya. Dulu komunikasi saya dengan orang tua kurang lancar, padahal kita (sebagai anak) tentu ingin didengar. Jadi saya lebih rebel dulu. Makanya takut kena karma, saya berusaha tidak komunikasi
one sided kepada anak saya.
Tapi bapak saya sejak kecil mengajarkan agar semua
catch up, saling bina hubungan baik, tidak hanya satu minta, satu memberi. Jadi kami setiap minggu selalu kumpul. Kadang di rumah saya, kadang di rumah adik saya, itu
value dari bapak saya. Hampir setiap minggu walau saya sering absen, kami bawa makan masing-masing, biasanya
potluck begitu.
[Gambas:Video CNN]Whastapp Group Menteri
Apakah Anda punya rekan menteri paling dekat di Kabinet Kerja?
Semua friends karena masalah desa ini keberhasilannya tergantung dengan kementerian lain. Tapi saya suka pergi dengan Pak Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Pak Bambang Brodjonegoro (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional), Pak Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika). Biasanya kami makan, kami janjian di rumah siapa atau di restoran mana. Biasanya kami ajak Dirjen Pajak kalau ada bicara soal pajak, atau kami ajak juga Dirjen Imigrasi misalnya. Kami ajak pengusaha juga kalau ada hal yang ingin kami dengar, kan ini informal, bisa jadi bahan untuk buat kebijakan. Hangout kalau tidak ada topik kan boring juga ya.
Apakah Anda dan rekan-rekan menteri suka berkomunikasi di aplikasi pesan dalam jaringan, seperti memiliki Whatsapp Group?
Ada. Tapi di grup ini tidak ada Pak Jokowi. Hanya menteri-menteri saja, tapi ada staf ahli beliau. Jadi pasti bocor lah. Tidak ada grup dengan Pak Jokowi, kasihan nanti beliau pusing.
Apakah suka berbagi sticker Whatsapp juga? Lalu, apa saja yang menjadi topik obrolan di Whatsapp Group?
Jarang sih (menggunakan sticker), kami jarang bercanda di Whatsapp, benar-benar kerja, kasih masukan yang bebas ngomong. Kalau ada perbedaan, semuanya dibicarakan di sini. Kalau di WA tidak ketemu orang jadi bicaranya lebih bebas, tapi kalau ketemu mungkin agak tidak enak.
Misalnya, saya pernah komplain ke menteri A mengkritisi soal pembangunan desa. Saya bilang kalau mau mengkritisi jangan di luar, jangan di media, ngobrol di sini saja.
Selain Whatsapp Group, apa Anda aktif di media sosial?
Iya. Biasanya ketika berangkat kerja, saya mendengarkan berita atau saya isi sosial media saya, entah Facebook, Twitter, Instagram. Pas lagi di mobil atau di pesawat biasa saya lakukan untuk sosial media saya. Ini untuk isi waktu luang. Karena kalau sudah sampai di kantor atau di mana, itu sudah banyak orang yang masuk, jadi tidak ada waktu untuk
manage sosial media saya. Padahal, sosial media juga penting, kita sebagai pekerja publik, publik juga perlu tahu apa yang kita kerjakan agar mendapat dukungan dari mereka.