Jakarta, CNN Indonesia -- Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) menutup perdagangan akhir pekan lalu dengan lompatan 3,44 persen. Padahal, di sepanjang pekan, IHSG tekor 0,31 persen akibat tren angkat kaki investor. Bursa Efek Indonesia (
BEI) mencatat arus modal yang keluar pasar
saham mencapai Rp2,96 triliun.
Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Aprilinov mengatakan lompatan IHSG di akhir pekan karena kabar ditemukannya antivirus penyakit covid-19 oleh Gilead Sciences, remdesivir. Walaupun obat tersebut masih dalam tahap uji coba di AS, namun kabar gembiranya boleh dibilang memberi harapan akan berakhirnya pandemi virus corona.
Kembali ke indeks saham dalam negeri, lanjut dia, laju IHSG masih akan tertekan sebagai dampak pandemi corona. Namun, terlepas dari hal itu, ada peluang investor menangkap kesempatan meraup cuan, terutama dari saham emiten peritel ponsel pintar usai aturan International Mobile Equipment Identity (IMEI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat aturan tersebut, pemerintah akan memblokir ponsel ilegal. Ini artinya, penjualan ponsel pintar dari ritel atau distributor resmi akan meroket.
Oleh karenanya, Chris merekomendasikan saham emiten ritel ponsel seperti ERAA atau PT Erajaya Swasembada Tbk. "Karena pemblokiran IMEI sudah diterapkan, seharusnya ERAA menarik," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (20/4).
Emiten yang melantai di BEI sejak 2011 tersebut memang terpantau cukup baik. Dalam sebulan terakhir perusahaan ritel sekaligus distributor perangkat elektronik ini mencatat kenaikan sebesar 12,05 persen. Khusus perdagangan pekan lalu, sahamnya tumbuh 14,61 persen ke level Rp1.255 per saham.
Selama sebulan terakhir, ERAA bergerak di rentang 805-1.285. Memang, posisi itu masih jauh tertinggal dari prestasi terbaiknya setahun terakhir, yakni Rp2.260 per saham.
Namun, ada potensi pertumbuhan saham masih luas, terlebih dengan kebijakan IMEI dan penerapan bekerja dari rumah (WFH) yang mendorong pekerja memiliki ponsel pintar.
[Gambas:Video CNN]Sebagai catatan, kinerja tahunan ERAA sepanjang 2019 lalu menurun dibanding tahun sebelumnya. Emiten mencetak laba bersih sebesar Rp295,07 miliar atau turun 65,29 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp850,09 miliar. Penurunan laba seiring dengan anjloknya pendapatan perusahaan yang terjun 5,18 persen dari Rp34,74 triliun pada 2018 menjadi Rp32,94 triliun pada 2019.
Perusahaan menyebut penjualan terbesar berasal dari penjualan ponsel dan tablet yaitu sebesar Rp25,64 triliun dari capaian sebelumnya di angka Rp28,85 triliun.
Adapun total aset perusahaan mencapai Rp9,75 triliun hingga 31 Desember 2019, turun dari periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp12,68 triliun.
"ERAA, saya targetkan beli di rentang 1.200-1.260 dengan harga target sebesar 1.440," kata Chris.
Rekomendasi Chris selanjutnya adalah saham sektor telekomunikasi dari emiten yang berpeluang, yakni PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau TLKM.
Disebut berpeluang karena saham TLKM kian gemuk dengan kenaikan sebesar 7,67 persen pada perdagangan pekan lalu ke posisi 3.230.
Maklum, emiten pelat merah itu mencatat lonjakan saham cukup tajam sebulan terakhir, yaitu 14,95 persen. Berbanding terbalik dengan posisinya tiga bulan lalu yang amblas sebesar 16,75 persen akibat sentilan Menteri BUMN Erick Thohir.
Porsi pendapatan data, internet, dan jasa teknologi informatika yang mencapai 59 persen menopang kinerja perusahaan. Tercatat, pendapatan perusahaan naik dari Rp128,25 triliun ke Rp130,78 triliun atau sebesar 1,97 persen pada 2019 dengan perbandingan periode sama tahun sebelumnya.
"Serta efek dari virus corona menyebabkan traffic (pergerakan) internet naik yang berdampak positif bagi TLKM," ungkap Chris.
Ia menyarankan investor untuk melakukan beli saham TLKM pada rentang Rp3.180-Rp3.250 per saham dengan harga target Rp3.500 per saham.
Belanja Saham Sektor 'Aman'Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya menyebut IHSG masih akan bergerak fluktuatif pada perdagangan sepanjang pekan. Alasannya, Indonesia belum menunjukkan titik puncak angka positif infeksi virus corona.
Nah, kala kinerja emiten sedang tidak mengilap, ia menyarankan investor mengincar saham emiten yang bergerak di sektor yang lebih stabil. Misalnya, konsumer yang bergerak di makanan pokok (
consumer staple) atau sektor kesehatan dan farmasi.
"Incar sektor yang lebih stabil, seperti sektor konsumer dan farmasi," jelasnya.
Kendati begitu, ia mengaku tak memasang harga beli dan harga target. Namun, saham emiten yang bisa dilirik adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Sementara, untuk sektor farmasi, ia memilih PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), dan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA).
Di tengah pelemahan mata uang rupiah, ia menambahkan investor dapat melirik saham-saham yang menghasilkan dolar AS dalam transaksi bisnisnya, seperti PT United Tractors (Tbk).
Apalagi, UNTR mencatat performa apik dalam sebulan terakhir. Sahamnya terapresiasi 29,29 persen ke posisi Rp17.325 per saham.
Sepaham, Chris menyebut UNTR bisa menjadi pilihan, dengan alasan kinerja baik emiten. "UNTR bisa menjadi pilihan, kinerja UNTR serta rasio fundamental sudah murah," tandasnya.
(wel/bir)