Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat perbankan menilai
Bank Bukopin tidak akan berdampak sistemik atau memberi dampak luas bagi
sistem keuangan bila gagal. Penilaian ini merujuk pada kinerja
bank yang dinilai hanya mengalami persoalan likuiditas.
Sebelumnya, Bank Bukopin diterpa isu pembatasan penarikan dana atau simpanan bagi nasabah. Isu muncul setelah sejumlah nasabah mengeluhkan kebijakan Bank Bukopin yang meminta mereka melakukan konfirmasi dua hari sebelum penarikan dana.
Mereka menyatakan ketentuan yang berlaku mulai 2 Juni itu diterapkan khusus untuk penarikan dana tunai di atas Rp10 juta. Pengamat keuangan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan tidak tahu pasti masalah apa yang tengah dialami Bank Bukopin di tengah isu tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, isu pembatasan penarikan dana biasanya memang mengindikasikan sebuah bank mengalami gangguan arus kas atau likuiditas. Namun, hal ini tak serta merta akan membuat Bank Bukopin memberikan dampak sistemik pada sistem keuangan Indonesia.
Sebab, masalah yang dialami Bukopin kemungkinan hanya terkait likuiditas saja.
"Saya rasa tidak (akan berdampak sistemik), karena sekarang kan kabarnya mereka mau
right issue. Jadi kalau ada problem pun, itu mungkin hanya di likuiditas, bukan di kinerja keseluruhan," ucap Aviliani kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (10/6).
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan keuangan Bank Bukopin per Maret 2020, kinerja mereka memang masih cukup baik. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit yang masih tumbuh sekitar 2,56 persen menjadi Rp66,44 triliun pada kuartal I 2020 dari kuartal I 2019.
Cerminan juga terlihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh 2,28 persen menjadi Rp77,89 triliun. Kemudian, Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) turun dari 97,72 persen menjadi 95,9 persen.
Selanjutnya, margin bunga bersih (
Net Interest Margin/NIM) meningkat dari 2,09 persen menjadi 2,44 persen. Namun memang, rasio penyaluran kredit dari total dana yang dimiliki (
Loan to Deposit Ratio/LDR) meningkat dari 85,1 persen menjadi 90,92 persen.
Begitu pula dengan rasio kredit bermasalah (
Non Performing Loan/NPL)
gross yang meningkat dari 5,23 persen menjadi 5,33 persen. Sementara NPL net turun dari 3,54 persen menjadi 3,4 persen.
"Kinerja nampaknya tidak ada masalah, jadi mungkin likuiditas saja. Tapi likuiditas itu memang jadi tantangan bagi semua bank saat ini," katanya.
Menurut Aviliani, masalah likuiditas menjadi hal maklum saat ini karena bank harus melakukan program restrukturisasi kredit kepada debitur atau nasabah. Hal ini membuat bank tidak menerima pembayaran cicilan kredit dari nasabah dalam beberapa bulan ke depan.
[Gambas:Video CNN]"Per Juni ini pasti sudah sangat terasa dampaknya dari nasabah yang tidak bayar cicilan kredit dan akan pengaruhi likuiditas, bukan hanya di Bukopin, tapi juga bank lain," jelasnya.
Atas hal ini, sambung Avi, pemerintah dan berbagai pihak terkait sebenarnya sudah memberikan kebijakan untuk menjamin ketersediaan likuiditas bank. Dari sisi pemerintah, ada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Program ini dijalankan dengan memberi bantuan likuiditas melalui skema bank jangkar dan peserta. "Hanya saja memang kebijakan ini perlu dipercepat implementasinya, jangan sampai b-to-b yang terlalu lama karena harus dinilai PPA dan lainnya. Bank kan bisa gunakan nilai restrukturisasi kreditnya sebagai jaminan penyediaan likuiditas, jadi begitu saja agar cepat," tuturnya.
Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) juga memberikan kebijakan repo surat utang, di mana bank bisa menjual Surat Berharga Negara (SBN) dengan syarat membeli kembali ke BI.
"Saat ini, SBN pemerintah yang ada di bank sekitar Rp950 triliun, SBN itu bisa di-repo-kan ke BI, tapi yang sudah di-repo baru setengahnya, jadi masih ada ketersediaan likuiditas dari upaya ini," terangnya.
Menurut Avi, kedua kebijakan itu setidaknya cukup untuk memberi tambahan likuiditas bank saat ini. Cara lain, menurutnya, bisa menggunakan peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk ikut memberikan suntikan likuditas.
"Masih ada tambahan likuiditas bila LPS mau memberikan. LPS seharusnya bisa, jangan hanya Himbara, kan anggota yang bayar premi juga ada dari swasta," ungkapnya.
Senada, Ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam melihat isu pembatasan tarik dana Bank Bukopin tidak akan menimbulkan dampak sistemik. Sebab, bank secara menyeluruh masih dipercaya bisa menjaga kecukupan likuiditas saat ini, meski tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona cukup tinggi, khususnya bagi bank BUKU I, II, dan III.
"Saya kira termasuk Bukopin akan bisa bertahan di tengah wabah Covid-19 ini," ucapnya.
Piter mengatakan keyakinan ini berasal dari berbagai antisipasi kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun LPS. Hal ini dirasa setidaknya cukup untuk menambah suntikan likuiditas bagi bank.
Lebih lanjut, menurut Piter, kebijakan pembatasan tarik dana nasabah sejatinya masih cukup wajar sebagai antisipasi Bank Bukopin dalam mengelola arus kasnya. Nasabah pun diminta untuk ikut mengerti dan tidak melakukan penarikan simpanan dalam jumlah besar (rush).
"Nasabah harus tetap tenang dan percaya bahwa dana di bank, bank mana pun terjamin. Apabila tidak ada
rush, maka semua bank, saya perkirakan masih dalam keadaan baik-baik saja walaupun ada tekanan likuiditas," pungkasnya.
(uli/agt)