Jakarta, CNN Indonesia -- Ancaman
resesi ekonomi membayangi sejumlah negara di tengah pandemi
virus corona (covid-19). Dalam istilah ekonomi, resesi adalah kondisi di mana perekonomian riil suatu negara merosot setidaknya enam bulan atau dua kuartal.
Menteri Keuangan
Sri Mulyani meyakini Indonesia bisa bebas dari resesi ekonomi. Asal, pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi harus mendekati nol persen. Pasalnya, bendahara negara memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 amblas ke minus 3,1 persen.
"Meskipun pada kuartal I positif, namun kuartal kedua kami perkirakan akan terjadi kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kami perkirakan negatif, minus 3,1 persen," ujarnya dalam press conference APBN Kita, Selasa (16/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan kondisi terburuk ekonomi terjadi pada April dan Mei. Setelah itu, ia memperkirakan pemulihan ekonomi akan terjadi pada kuartal III dan IV, atau mulai Juli.
Pemulihan ekonomi ini akan ditopang oleh stimulus yang digelontorkan pemerintah. Selain itu pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah juga memungkinkan aktivitas ekonomi yang sempat dibatasi mulai kembali bergerak.
"Kalau terjadi kombinasi instrumen pemerintah mulai jalan dan relaksasi dilakukan, diharapkan pada kuartal III bisa pulih dari kontraksi kuartal II. Paling tidak mendekati nol (pertumbuhan ekonomi). Sehingga
technically, kita bisa menghindari resesi," ujar Sri Mulyani.
Senada dengan Sri Mulyani, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi memprediksi Indonesia bisa selamat dari resesi ekonomi. Prediksinya diperkuat oleh hasil riset media asal AS
Politico yang menyatakan Indonesia berpeluang selamat dari resesi ekonomi dibandingkan negara lain.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi akan ditopang oleh kinerja ekspor. Ini ditunjukkan dari surplus neraca dagang pada Januari-Mei sebesar US$4,31 miliar.
"Tren positif di neraca dagang Januari-Mei, karena ekspor meningkat jadi surplus neraca dagang bukan karena impor turun tapi kalau kita lihat ada pertumbuhan ekspor," katanya.
Di samping itu, ia mengatakan stimulus yang digelontorkan pemerintah akan mengerek konsumsi masyarakat. Saat ini, pemerintah mengerek anggaran Covid-19 menjadi Rp695,2 triliun dari semula Rp405,1 triliun di Maret. Sebagian besar dana itu dialokasikan untuk perlindungan sosial yakni Rp302 triliun.
Namun, tak sekadar menggelontorkan stimulus untuk konsumsi masyarakat, ia meminta pemerintah dapat memastikan masyarakat mau melakukan konsumsi (willingness). Satu-satunya cara untuk meyakinkan masyarakat agar kembali melakukan konsumsi adalah menekan tambahan jumlah kasus covid-19. Dengan demikian, masyarakat tidak ragu untuk membelanjakan uangnya alih-alih memilih untuk menyimpannya.
"Kalau kasus naik lagi, apalagi kelas masyarakat 20 persen menengah ke atas, ini akan melihat risiko besar kalau begitu, mereka cenderung menghindari keinginan belanja," katanya.
Prediksinya, jika kurva kasus Covid-19 melandai pada Juni-Juli maka pertumbuhan ekonomi masih bisa menyentuh satu persen di 2020. Namun, jika kurvanya masih tinggi hingga September maka pertumbuhan ekonomi bisa minus 0,87 persen tahun ini.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memiliki pandangan berbeda. Ia memprediksi Indonesia kemungkinan besar mengalami resesi ekonomi. Sebab, dua indikator penting ekonomi masih menunjukkan perlambatan, yakni pertumbuhan sektor manufaktur dan daya beli masyarakat.
"Kalau seandainya melihat potensi, memang kemungkinan besar terjadi resesi karena memang indikator penting untuk ekonomi Indonesia setidaknya pada Mei masih menunjukkan tanda-tanda perlambatan," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (16/6).
Menurutnya, tekanan pada industri manufaktur tercermin dari kinerja impor Mei 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor hanya mencapai US$8,44 miliar atau anjlok 32,65 persen dari bulan sebelumnya. Khusus impor nonmigas anjlok 33,36 persen dari US$11,68 miliar menjadi US$7,78 miliar.
Impor barang baku/penolong juga melorot 34,66 persen menjadi US$6,11 miliar. Lalu, impor barang modal merosot 29,01 persen menjadi US$1,39 miliar. Padahal secara struktur, impor didominasi oleh barang baku/penolong mencapai 72,42 persen dari total impor.
Menurut Yusuf, kinerja impor yang didominasi oleh impor barang baku/penolong itu cukup mengindikasikan jika sektor manufaktur masih dalam tekanan.
"Kalau manufaktur melemah itu akan koreksi kepada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena dia menyumbang 20 persen dalam PDB atau kontribusi terbesar, sehingga kalau dia melambat maka akan terjadi perlambatan ekonomi Indonesia," paparnya.
Kondisi serupa terjadi pada daya beli masyarakat. Sejumlah indikator masih menunjukkan pelemahan.
 Resesi ekonomi akan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan orang miskin. (CNN Indonesia/Andry Novelino). |
Misalnya, penjualan eceran tumbuh minus pada April 2020. Survei Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) sebesar 190,7 atau turun 16,9 persen secara tahunan tak lepas dari pandemi virus corona. Sementara itu, IPR bulan sebelumnya masih berada di level 219,9.
Memang, kata dia, pemerintah telah melonggarkan PSBB di sejumlah wilayah zona hijau dan menerapkan new normal sehingga aktivitas kembali perlahan. Namun, ini tidak serta merta membaik dan memberikan dampak di kuartal III 2020.
Pun sama halnya dengan sektor manufaktur. Ia memproyeksi sektor manufaktur membutuhkan waktu untuk pulih, sehingga dampaknya perbaikannya baru bisa terlihat di kuartal IV 2020.
Oleh sebab itu, ia meramal pertumbuhan ekonomi di kuartal III masih minus, meskipun ia belum memperhitungkan angkanya. Sedangkan di kuartal II 2020, ia memprediksi pertumbuhan negatif di rentang 2 persen-3 persen.
"Menurut saya proses perbaikan industri manufaktur dan daya beli masyarakat memang perlu waktu. Artinya, kalau ada kegiatan new normal dan pelonggaran PSBB pun hanya di beberapa kota belum nasional. Kalau pun di kuartal III pelonggaran terjadi secara nasional, tapi masih perlu transisi," ujarnya.
Guna mendorong daya beli masyarakat, ia menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi pada bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat terdampak. Saat ini, pemerintah memberikan bansos berupa paket sembako bagi warga Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dan bantuan langsung tunai (BLT) untuk warga di luar Jabodetabek.
Paket sembako yang diberikan bernilai Rp600 ribu per kepala keluarga (KK) per bulan selama tiga bulan. Rinciannya, 1,33 juta KK di Jakarta dan 60 ribu KK di Bodetabek. Penyaluran diberikan setiap dua pekan sekali senilai Rp300 ribu. Selanjutnya, pemerintah juga menyalurkan BLT dengan target 9 juta KK di luar Jabodetabek. Bantuan itu bernilai Rp600 ribu per bulan per KK.
Menurutnya, masyarakat saat ini lebih membutuhkan bantuan dalam bentuk tunai. Dengan demikian, harapannya bisa mendorong masyarakat untuk melakukan konsumsi.
"Masih terbuka ruang untuk ditingkatkan, karena jangankan untuk konsumsi barang lain bahkan untuk konsumsi barang esensial saja masyarakat masih harus menahan," ucapnya.
Apabila konsumsi masyarakat kembali meningkat, ia memprediksi terjadi tambahan permintaan terhadap barang dan produk manufaktur. Dengan demikian, secara tidak langsung daya beli akan mengenjot pemulihan sektor manufaktur.
Dampak ResesiResesi ekonomi memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Yusuf menuturkan setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap kurang lebih 110 ribu tenaga kerja. Pasalnya, output produksi yang dihasilkan bertambah.
"Ilustrasinya, produksi satu TV dalam kondisi normal dikerjakan oleh lima orang. Tapi, kondisi sekarang hanya dua orang saja, lalu tiga orang lainnya PHK," katanya.
Sebaliknya, kata dia, jika pertumbuhan ekonomi kontraksi, maka terdapat potensi tambahan pengangguran. Kenaikan pengangguran ini berpengaruh pada persentase penduduk miskin lantaran kehilangan mata pencaharian mereka. Prediksi ini mulai tampak dari jumlah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
[Gambas:Video CNN]
Sri Mulyani sebelumnya telah memprediksi lonjakan pengangguran dan kemiskinan akibat virus corona. Skenario berat jumlah pengangguran bertambah 2,9 juta orang dan skenario lebih berat naik 5,2 juta orang. Padahal, selama lima tahun terakhir angka pengangguran berhasil ditekan.
Serupa, ia memprediksi jumlah penduduk miskin bertambah akibat pandemi. Dalam skenario berat, penduduk miskin naik 1,1 juta orang dan dalam skenario lebih berat tambahan penduduk miskin mencapai 3,78 juta orang
Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan penduduk miskin di Indonesia bertambah sekitar 5,6 juta hingga 9,6 juta orang pada tahun ini, menjadi 30 juta orang. Dari asumsi itu, tingkat kemiskinan naik sekitar 2,1 persen sampai 3,6 persen.
"Kita belum bicara dampak sosialnya. Kalau kemiskinan bertambah tapi tanpa bantuan pemerintah, maka berpotensi pada naiknya angka kriminalitas, itu bisa saja terjadi," tuturnya.
(sfr)