ANALISIS

Bansos hingga BLT Desa Macet, Ancaman Resesi di Depan Mata

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 18 Jun 2020 07:43 WIB
Petugas memberikan Bantuan Sosial Tunai (BST) pada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Kantor Pos Cimahi, Jawa Barat, Minggu (10/5/2020). Pemerintah melalui Kementerian Sosial menyalurkan dana bantuan sosial tunai senilai Rp600.000 kepada 13.491 Keluarga Penerima Manfaat di Kota Cimahi yang terdampak wabah COVID-19. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.
Bansos merupakan senjata utama untuk menggerakkan konsumsi di tengah pandemi. Penyaluran yang terganggu akan menghambat laju pertumbuhan. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah mengandalkan bantuan sosial (bansos) untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah pandemi virus corona. Namun, proses penyalurannya terbilang lamban karena prosesnya hingga kini belum juga mencapai 100 persen dari target yang ditetapkan.

Menteri Sosial Juliari Batubara mengungkapkan penyaluran bansos reguler seperti bantuan pangan non tunai (BPNT) atau kartu sembako baru disalurkan kepada 18,33 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Padahal, pemerintah mematok target sebanyak 20 juta KPM.

"Ini mengingat pada saat pandemi virus corona harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan dan sebagian besar penerima manfaat berada di wilayah terpencil, jadi tidak mudah terjangkau," ungkap Juliari, dikutip Kamis (17/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, bansos dari program keluarga harapan (PKH) juga baru disalurkan kepada 9,54 juta dengan nilai Rp2,42 triliun. Realisasi itu belum menyentuh target 10 juta KPM.

Tak hanya itu, penyaluran bansos khusus berupa paket sembako untuk wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) juga baru memasuki tahap empat dari enam tahapan yang direncanakan. Ia menyatakan pemerintah baru menyalurkan kepada 1,29 juta KPM di DKI Jakarta dan 559 ribu KPM di Bodetabek.

Sementara, Kementerian Sosial mencatat total penyaluran bantuan sosial tunai (BST) sebesar Rp3,96 triliun per 16 Juni 2020. Dana itu diberikan kepada 6,59 juta kepala keluarga (KK).

Juliari mengungkapkan target penyaluran bansos tunai adalah 9 juta KK. Artinya, realisasi penyaluran hingga pertengahan Juni 2020 baru sebesar 73,3 persen.

Di samping itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan masih ada 11 kabupaten yang belum menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa sepeserpun kepada masyarakat yang terdampak virus corona. Mayoritas kabupaten itu berada di Papua.

Secara total, pemerintah baru menyalurkan BLT dana desa kepada 6,88 juta KPM. Jumlah itu setara dengan 58 persen dari target yang ditetapkan sebanyak 12,34 juta KPM.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bansos merupakan senjata utama pemerintah untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga di tengah hantaman virus corona. Hal ini utamanya berlaku bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Artinya, jika pemerintah tak cekatan dalam menyalurkan bansos, konsumsi masyarakat bakal terus turun hingga minus. Kalau itu terjadi, jangan kaget pertumbuhan ekonomi domestik ikut terkoreksi tahun ini.

Maklum, ekonomi Indonesia masih bergantung dengan konsumsi masyarakat. Kontribusinya mencapai lebih dari 50 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB).

"Bansos ini menjadi andalan untuk mempertahankan daya belil masyarakat yang ekonominya rentan," kata Josua kepada CNNIndonesia.com.

Memang, proses penyaluran bansos bukanlah hal yang mudah. Salah satu kendala yang selalu hadir dalam penyaluran bansos adalah soal data.

"Ada masalah verifikasi data ini jadi sulit untuk mencapai 100 persen penyaluran bansosnya. Prosesnya rumit. Kendala bansos di situ," ujar Josua.

Belum lagi ada data yang tumpang tindih. Misalnya, A sudah masuk sebagai penerima bansos dalam bentuk PKH, tapi rupanya pemerintah memasukkan A lagi sebagai penerima bansos tunai. Dengan demikian, penyalurannya menjadi tak efektif.

"Ada yang dapat dua, penerima tidak tepat sasaran. Masih ada tumpang tindih data," imbuh Josua.

Berbagai kendala ini juga diakui oleh pemerintah. Kementerian Sosial memaparkan sejumlah hambatan lainnya yang dihadapi dalam menyalurkan bansos, antara lain masih ada daerah yang belum memenuhi kuota, ada daerah yang meminta penundaan penyaluran bansos, distribusi yang sulit karena berada di daerah terpencil, jumlah loket pembayaran terbatas, dan keterbatasan antrean karena protokol kesehatan pandemi virus corona.

Begitu pula dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dalam menyalurkan BLT dana desa. Beberapa kendala yang dihadapi adalah dana desa tahap pertama sudah habis digunakan untuk kegiatan padat karya, target daerah penyaluran cukup jauh dan terpencil, belum dapat izin dari kepala daerah setempat, pemberian dana desa secara non tunai atau cashless, data KPM yang harus diverifikasi ulang, perangkat desa terinfeksi virus corona sehingga menghambat penyaluran, dan banjir seperti di Aceh.

Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Pemerintah menyalurkan paket bansos masing-masing sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan sebagai upaya untuk mencegah warga tidak mudik dan meningkatkan daya beli selama pandemi COVID-19 kepada warga yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.Penyaluran bansos untuk meredam dampak pandemi corona masih terkendala. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww).

Potensi Resesi 2020

Josua bilang berbagai persoalan itu harus segera diatasi agar pengaruhnya tak terasa sampai kuartal III 2020. Bila belum ada jalan keluar, jangan harap tingkat konsumsi membaik dalam waktu dekat.

"Setidaknya berharap pada kuartal III 2020 itu konsumsi rumah tangga membaik. Kalau kondisi penyaluran yang tidak 100 persen ini sampai ke kuartal III 2020, bisa pengaruh nanti ke konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," jelas Josua.

Ia menjelaskan bansos ini memang hanya untuk membantu konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah. Jumlahnya tak sampai 20 persen dari total pertumbuhan konsumsi masyarakat di Indonesia.

Sementara, mayoritas pertumbuhan konsumsi masyarakat masih ditopang oleh masyarakat kelas menengah dan menengah atas. Meski begitu, bukan berarti pemerintah boleh abai dengan tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah bawah.

Pasalnya, konsumsi di seluruh kelompok masyarakat kini sedang rendah. Hal itu terjadi baik di kelas menengah atas dan bawah.

"Semuanya konsumsi turun. Ini karena masyarakat kelas menengah dan menengah atas ini juga masih waspada. Mal sudah dibuka lagi bukan berarti mereka langsung belanja. Makanya penting juga agar bansos ini penyalurannya bisa efektif, ini akan bantu tingkat konsumsi," jelas Josua.

Saat ini saja, konsumsi masyarakat sudah anjlok hingga 2,84 persen pada kuartal I 2020. Realisasi itu terpaut jauh dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,02 persen.

Melihat realisasi konsumsi rumah tangga tersebut, tak heran pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini hanya 2,97 persen. Angkanya merosot dari kuartal I 2019 yang tembus 5,07 persen.

Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 minus 3,1 persen. Kondisi ini tak lepas dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di banyak daerah yang memberi kontribusi besar terhadap ekonomi nasional.

Jika ramalan pemerintah benar-benar terjadi, kemudian konsumsi di kuartal III 2020 juga belum membaik atau bahkan minus, maka otomatis ekonomi domestik akan terkoreksi pada kuartal III 2020. Ini artinya Indonesia resmi masuk ke jurang resesi pada 2020.

Dalam istilah ekonomi, suatu negara disebut resesi apabila ekonominya minus selama dua kuartal berturut-turut. Josua menyatakan potensi Indonesia masuk ke jurang resesi memang terbuka lebar.

"Secara teknikal iya (potensinya besar untuk resesi tahun ini). Makanya kunci utamanya adalah jaga daya beli masyarakat agar ekonomi bisa bangkit," jelas Josua.

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan Indonesia berpeluang memasuki area resesi tahun ini bila pemerintah tak cepat dalam menyalurkan bansos. Selain untuk meningkatkan daya beli, ia menilai bansos juga akan menahan seseorang untuk masuk ke jurang kemiskinan.

"Bansos ini digunakan agar masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bertahan hidup. Jika penyalurannya tak cepat, kemiskinan akan meningkat," kata Faisal.

Kalau orang miskin bertambah, dampaknya ke ekonomi juga besar. Masalahnya, konsumsi jelas akan jauh melambat karena semakin banyak orang yang tak mampu berbelanja. Ujung-ujungnya, ekonomi domestik pun seret.

Saat ini, tingkat kemiskinan di Indonesia berada di angka 9,22 persen dari total populasi per September 2019. Artinya, ada 24,79 juta penduduk miskin di dalam negeri.

"Pertumbuhan ekonomi memang semakin ke arah minus. Sesuai dengan prediksi Kementerian Keuangan kuartal II 2020 minus 3,1 persen. Kalau kami proyeksi kuartal II 2020 minus 2 sampai 7 persen," terang Faisal.

Ia menyatakan potensi resesi terbuka lebar pada kuartal III 2020. Pasalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 saja sudah jauh dari prediksi sejumlah pihak yang berkisar 4 persen.

"Jadi seterusnya mungkin akan lebih rendah dari ekspektasi. Tingkat ketidakpastian sangat tinggi," imbuh Faisal.

[Gambas:Video CNN]

Untuk tahun ini, Faisal memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2 persen. Namun, ada peluang positif meski masih di bawah 1 persen jika tingkat konsumsi masyarakat membaik.

"Tapi ini masih akan kami kaji pada Juli 2020 nanti. Ini bisa kami revisi," pungkas Faisal. 

(sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER