Sejumlah pihak yang berasal dari berbagai latar belakang akan menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini, Jumat (10/7).
Gugatan dilakukan karena UU Minerba dinilai hanya menguntungkan perusahaan batu bara swasta, namun mengurangi manfaat dari hasil pengelolaan sumber daya alam kepada negara.
Gugatan ini diajukan dalam rangka permohonan uji hukum formil atau melihat aturan dari kesesuaian dengan undang-undang terdahulu. Permohonan diajukan ke MK dengan pemohon terdaftar, yaitu Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, Ketua PPUU DPD Alirman Sori, Anggota DPD Tamsil Linrung, dan Perkumpulan Serikat Islam Hamdan Zoelva.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dan Direktur Indonesian Mining Watch (IMW) Budi Santoso. Lalu juga turut melibatkan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Ilham Rifki Nurfajar dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia M. Andrean Saefudin.
Marwan mengatakan gugatan dan permohonan uji formil dilakukan karena UU 3/2020 dianggap tidak memenuhi prosedur berdasarkan tata cara perundang-undangan. Pertama, pembahasan Datar Isian Masalah (DIM) tidak tuntas oleh Anggota DPR 2014-2019, namun kemudian dilanjutkan oleh para Anggota DPR 2019-2024.
"Carry over DIM dari DPR periode lalu, ini seharusnya tidak bisa dilakukan. Kalau tidak selesai, harus dibahas lagi dari awal di periode yang baru," ungkap Marwan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/7).
Selanjutnya, Marwan mengatakan partisipasi publik pada pembahasan UU 3/2020 juga tidak ada. Hal ini tercermin dari pelaksanaan pembahasan yang kerap dilakukan secara tertutup oleh para anggota DPR.
"Bahkan, DPD tidak dilibatkan, berarti ada pelanggaran konstitusi," katanya.
Tak hanya dari sisi hukum formil, Marwan mengatakan ada sejumlah hal yang tidak seharusnya diatur dalam UU 3/2020. Maka, nantinya hal ini akan diteruskan oleh para pemohon agar MK dapat melakukan uji materiil atau terhadap ketentuan yang ada di pasal-pasal UU tersebut.
Dari sisi materiil, Marwan melihat ketidaksesuaian yang paling terlihat adalah UU 3/2020 hanya akan menguntungkan para perusahaan batu bara swasta. Sebab, mereka mendapat jaminan dari pemerintah bahwa kontrak kelola bisa diperpanjang setelah berakhir tanpa harus mengalihkannya kepada negara dan BUMN terlebih dahulu.
"Setelah (kontrak habis) itu, seharusnya dikembalikan ke negara karena amanat UUD 1945 Pasal 33. Tapi sekarang mereka bisa lanjut kelola, jadi UU itu bisa diganti untuk perpanjangan otomatis," katanya.
Padahal, menurut Marwan, pengembalian kepada negara atau BUMN jauh lebih baik. Sebab, negara bisa mengambilalih pengelolaan dan memberikan manfaat yang lebih besar ke pengelolaan sumber daya alam di dalam negeri serta keuangan negara.
Begitu pula bila diberikan kepada BUMN. Pasalnya, BUMN sebagai perusahaan negara membayar dividen atas keuntungannya kepada negara, sehingga hasilnya akan langsung terasa.
"Taruhlah kalau pembayaran pajaknya patuh, BUMN dan swasta mungkin membayar pajaknya, tapi kalau dikelola BUMN, itu ada tambahan dividen. Tapi kalau swasta terus, untungnya untuk pemegang saham, siapa yang punya usaha, itu pun bisa tidak benar pembayaran pajaknya," jelasnya.
Lebih lanjut Marwan melihat hal ini memberi isyarat bahwa ada kepentingan swasta yang berusaha dijamin oleh pemerintah. Hal ini, sambungnya, mungkin tak lepas dari kemungkinan praktik suap menyuap yang terjadi ketika ingin meloloskan aturan menjadi UU.
"Ada niat mendominasi karena keuntungan yang diterima oleh orang-orang kaya itu. Saya yakin ada suap menyuap," imbuhnya.
Anggota Tim Kuasa Hukum Ahmad Redi menambahkan UU 3/2020 juga dianggap mengecilkan peran pemerintah daerah (pemda) dalam pengelolaan pertambangan batu bara. Padahal, wilayah pertambangan berada di daerah.
"Padahal kalau ada masalah, pemda yang digugat, pemda yang hadapi sengketa masalahnya," imbuhnya.
Selain itu, UU ini memungkinkan permasalahan hukum menjadi rumit karena dianggap melawan ketentuan penetapan wilayah pertambangan. Padahal, penentuan wilayah pertambangan seharusnya dikoordinasikan dengan aturan tata ruang secara menyeluruh.
"Aturan tata ruang tidak bisa langsung mengutak-atik wilayah pertambangan, ini tidak sejalan dengan semangat memperhatikan dampak lingkungan dan ekosistem," jelasnya.
Kendati begitu, Ahmad mengatakan berbagai masalah yang nantinya akan diajukan permohonan uji materiil kepada MK masih dipersiapkan. Belum ada target kapan gugatan uji materiil akan diajukan ke MK.
"Kami tunggu hasil uji formil ini dulu, kalau ternyata dikabulkan dan gugur, maka tidak perlu uji materiil karena sudah ambruk secara UU. Saat ini uji formil dulu karena ketentuannya harus diajukan sampai batas 45 hari sejak UU ditetapkan," pungkasnya.