Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan industri hotel dan restoran membutuhkan bantuan modal kerja dari pemerintah sebesar Rp21,3 triliun supaya bisa beroperasi lagi selama enam bulan ke depan.
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan dana yang dibutuhkan itu dihitung dengan asumsi perusahaan hotel dan restoran sudah kehabisan modal kerja. PHRI menghitung sejauh ini jumlah restoran yang menjadi anggotanya sebanyak 17.862 unit dan hotel sebanyak 715 ribu.
"Kami hitung seluruh biaya di luar bahan baku makanan dan minuman, ini kami temukan angka Rp21,3 triliun untuk modal kerja enam bulan yang dibutuhkan dengan asumsi modal kerja habis. Perkiraan simulasi seperti itu," terang Hariyadi dalam video conference, Selasa (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain modal kerja, Hariyadi mengatakan industri perhotelan dan restoran juga membutuhkan beberapa stimulus lain dari pemerintah. Salah satunya biaya utilitas listrik dan gas.
"Pada prinsipnya pengusaha yang ingin membayar tagihan listrik dan gas sesuai dengan penggunaan dan keberatan bila harus membayar sebesar minimum charge karena berarti lebih bayar (over paid)," tutur Hariyadi.
Kemudian, industri juga meminta agar pemerintah memberikan relaksasi pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25. Relaksasi yang diinginkan; terbebas dari cicilan bulanan PPh Pasal 25.
Pasalnya, keuangan perusahaan tertekan.
"Mayoritas perusahaan di sektor pariwisata khususnya hotel dan restoran mencatat kerugian pada 2020," imbuh Hariyadi.
Selain insentif itu, pihaknya juga meminta agar pemerintah membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada 2020. Hal ini karena aset tanah dan bangunan dinilai tak memberikan manfaat atau keuntungan di tengah pandemi virus corona.
Selanjutnya, PHRI meminta ada relaksasi pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Hariyadi mengklaim keuangan mayoritas perusahaan di sektor pariwisata tak mampu menanggung beban tersebut.
Lalu, bantuan lainnya adalah bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja di sektor pariwisata yang tak bisa bekerja selama pandemi virus corona. Hariyadi juga meminta agar pemerintah kembali mengizinkan perjalanan dinas ke luar kota supaya sektor pariwisata di daerah bisa terdorong kembali.
"Belanja operasional pemerintah antara lain perjalanan dinas, akomodasi, penyewaan ruang pertemuan agar segera dilaksanakan," ucap Hariyadi.
Ia bilang pemerintah sebenarnya telah memberikan sejumlah stimulus bagi sektor usaha. Namun, beberapa stimulus yang diberikan justru kurang efektif.
Beberapa yang tidak efektif, antara lain relaksasi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 25. Sementara, sejumlah insentif yang efektif adalah kebijakan restrukturisasi kredit dan pembayaran THR yang boleh dicicil atau ditunda sampai Desember 2020.
Stimulus yang Dibutuhkan Kadin
Selain modal itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pariwisata Kosmian Pudjiadi menjelaskan sektor pariwisata membutuhkan stimulus pendanaan hingga US$15 miliar atau Rp210 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS). Dana itu dibutuhkan untuk menggantikan potensi dana yang hilang dari kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).
Kosmian menyatakan kunjungan wisman berpotensi anjlok hingga 12 juta sepanjang tahun ini jika kasus penularan virus corona terus meningkat hingga akhir tahun. Jika itu benar-benar terjadi, maka jumlah kunjungan wisman yang tahun lalu mencapai 16 juta bisa anjlok tinggal 4 juta kunjungan.
Lalu, industri pariwisata juga membutuhkan pendanaan tambahan sebesar Rp300 triliun. Dana itu untuk menutupi potensi dana yang hilang dari kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) tahun ini.
"Jika situasi ini berlangsung hingga Desember 2020 kerugian wisatawan nusantara akan turun 75 persen," ujar Kosmian.
Stimulus lainnya yang dibutuhkan adalah pemerintah menyiapkan dana khusus untuk kementerian/lembaga, pemerintah daerah (pemda), dan perusahaan swasta untuk menyelenggarakan melakukan acara di hotel dan tempat tujuan wisata.
Dengan anggaran khusus itu, kementerian/lembaga, pemda, hingga sektor swasta terdorong untuk melakukan rapat di hotel dan kunjungan kerja ke luar kota.
"Jadi ada agenda setengah hari ibu-ibunya ke tempat wisata, kuliner, dan belanja souvenir di daerah," pungkas Kosmian.