Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengisyaratkan peluang Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur kembali ke level tertinggi sepanjang sejarah. Posisi itu yakni 51,9 pada Februari lalu. Sebab, PMI manufaktur pada Juni lalu telah membaik.
"Ini sekarang jadi pekerjaan rumah agar PMI bisa naik jadi 51,9, walaupun kami tidak bisa pungkiri itu semua tergantung banyak hal," katanya dalam diskusi virtual, Selasa (4/8).
Usai mencapai level tertinggi, kata dia, PMI manufaktur terus menurun akibat pandemi covid-19. Pada Maret, indeks PMI merosot tajam menjadi 45,3 lalu turun lagi di April yakni 27,5.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian posisinya naik tipis menjadi 28,6 pada bulan berikutnya dan sebesar 27,5 pada April. Sejalan dengan pelonggaran pembatasan sosial, indeks PMI bertambah jadi 39,1 pada Juni dan 46,9 di Juli.
"Ini satu hal sangat promising (menjanjikan), penurunan hanya terjadi pada Maret dan April. Walaupun Mei sangat tipis paling tidak ada kenaikan 1 poin dari April," katanya.
Ia mengatakan salah satu faktor krusial untuk mendorong kenaikan indeks PMI adalah tumbuhnya permintaan konsumen. Dengan demikian, maka dapat mendorong penyerapan produk industri manufaktur dari berbagai sektor.
Untuk mendorong kinerja sektor manufaktur, lanjutnya, pemerintah akan meningkatkan substitusi produk impor. Targetnya, substitusi impor mencapai 35 persen pada 2022.
Menurutnya, belajar dari pandemi Covid-19 pemerintah perlu mengurangi ketergantungan produk impor. Salah satunya dengan mendorong substitusi produk impor dari dalam negeri.
"Sekarang Kemenperin sedang menyusun roadmap, peta jalan terhadap program substitusi impor untuk menjawab lesson learn (pelajaran) pertama, yaitu struktur industri belum dalam," katanya.
Selain itu, pemerintah akan menambah sektor prioritas untuk substitusi impor, dari lima sektor menjadi tujuh sektor. Meliputi, sektor automotif, kimia, makanan dan minuman, tekstil dan busana, elektronik. Lalu dua tambahannya meliputi sektor farmasi dan alat kesehatan.
"Kita harus mandiri di sektor kesehatan sehingga ditambahkan industri farmasi dan alat kesehatan," katanya.
BPS mencatat nilai impor pada Juni 2020 mencapai US$10,76 miliar atau naik 27,56 persen dari bulan sebelumnya. Dari sisi impor non migas, BPS mencatat nilainya sebesar US$10,09 miliar atau meroket 29,64 persen.
Peningkatan impor nonmigas berasal dari barang konsumsi mencapai 51,1 persen menjadi US$1,41 miliar. Kemudian, impor barang baku atau penolong bauk 24,01 persen menjadi US$7,58 miliar. Lalu, impor barang modal meningkat 27,35 persen menjadi US$1,77 miliar.