Pemerintahan mematok asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp14.600 per dolar AS pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 (RAPBN 2021). Asumsi itu melemah dari asumsi tahun ini Rp14.400 per dolar AS.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai asumsi pemerintah tahun depan cukup moderat di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi covid-19.
Kendati demikian rupiah masih berpotensi menguat ke bawah Rp14.500 per dolar AS. Pasalnya, kinerja neraca dagang Indonesia di tahun depan berpotensi mengalami perbaikan dan melanjutkan apa yang telah tercapai di kuartal II 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Indikator Makro RAPBN 2021 |
"Ini adalah peluang yang seharusnya kita bisa pertahankan, kalau memang strategi pemerintah efektif, sampai tahun 2021. Artinya kalau neraca dagang positif rupiah punya peluang bahkan menguat lebih tinggi dari posisi yang di saat ini," ujarnya kepada CNNIndonesia.com Jumat (14/8).
Jika melihat pergerakannya sejak Januari 2020, nilai tukar rupiah melemah sebesar 6,7 persen terhadap dolar AS yakni dari Rp13.866 per dolar AS menjadi Rp14.775 dolar AS pada hari ini.
Rupiah memang sempat menyentuh titik terlemahnya yakni Rp16.575 per dolar AS pada 23 Maret 2020. Namun posisinya berangsur menguat hingga kembali ke level Rp13.878 per dolar AS pada 6 Juni 2020.
Menurut Faisal, sinyal pemulihan ekonomi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat juga bisa berdampak positif dan membawa aliran modal masuk ke negara-negara emerging market.
Lihat juga:Ekonom Beri Catatan Asumsi Makro RAPBN 2021 |
Di sisi lain, kerentanan rupiah terhadap gejolak pasar juga mulai berkurang sebab porsi kepemilikan asing di SBN sudah mulai berkurang. Langkah pemerintah dan otoritas moneter dalam burden sharing untuk pembiayaan APBN juga dinilai memberikan confident terhadap pasar dan membuat stabilitas rupiah terjaga.
"Pondasi rupiah sebetulnya bisa membaiki tahun 2021 menurut saya, karena itu Rp14.600 per dolar AS adalah middle ground sebenarnya. Tidak terlalu tinggi apresiasinya juga tidak terlalu rendah artinya moderat," imbuhnya.
Faisal memahami bahwa kemungkinan capital outflow dari pasar keuangan dalam negeri masih mungkin terjadi. Terutama jika bank sentral negara-negara besar mulai kembali menaikkan suku bunganya.
Kendati demikian, jika melihat prospek pertumbuhan ekonomi global yang masih muram, menurutnya rezim suku bunga rendah akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
"Suku bunga BI saat ini memang rendah tapi kita harus lihat secara komparatif ke negara lain. Kalau kita lihat Amerika Serikat mereka kemungkinan besar akan terus melanjutkan penurunan suku bunganya sekarang," tandasnya.