Kalangan pengusaha mendesak pemerintah bersikap tegas pada oknum nakal yang melanggar ketentuan pelabelan (labelling) pada produk olahan dan memberikan informasi menyesatkan untuk masyarakat.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan hal itu disampaikan karena sejak 2016, pihaknya menemukan banyak produk yang melakukan black campaign dengan memberi label 'tidak mengandung minyak kelapa sawit' di kemasan.
Padahal, pada pasal 100 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan bahwa setiap label pangan yang diperdagangankan wajib memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu produk, lanjut dia, tak bisa menggunakan label tidak menggunakan bahan dasar tertentu jika memang dari awal tak menggunakan. Jika demikian, menurutnya, tujuannya ialah menyudutkan produsen minyak kelapa sawit.
Meski telah diatur dalam uu, namun Joko meyakini ke depannya hal serupa akan kembali terjadi. Sehingga, ia berharap regulasi terkait dapat diperketat.
"Pasti ke depan kejadian serupa akan banyak, justru produk makanan dilabeli dengan 'no palm oil' bertentangan dengan kepentingan nasional. (Harus) diskusikan bagaimana agar tidak muncul kembali," katanya dalam video conference bertajuk Misleading Food Labeling Threaten Palm Oil Market, Rabu (16/9).
Sepaham, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Stefanus Indrayana menyebut penggunaan minyak sawit merupakan yang terbesar di dunia untuk produk makanan.
Dari semua produk makanan di pasar, 50 persennya menggunakan minyak sawit. Ini jauh lebih tinggi dari penggunaan minyak canola, minyak bunga matahari (sunflower) atau pun minyak kedelai.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, menurut dia sudah seharusnya pemerintah lebih tegas dalam memberi sanksi terhadap oknum nakal tersebut.
Dia juga menyebut banyak kasus yang terjadi di Indonesia murni karena ketidaktahuan pelaku usaha bahwa pelabelan tersebut melanggar hukum dan dapat diganjar hukuman administrasi.
"Perlu edukasi soal label misleading, (kalau tidak) terutama kaum milenial akan timbul salah persepsi soal sawit," katanya.
Di kesempatan sama, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Reri Indriani menyatakan bahwa sanksi diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan.
Dalam beleid disebutkan bahwa pelaku pelanggaran label bahan olahan dapat disanksi dengan peringatan. Namun, jika pelanggaran masih dilakukan, maka penarikan izin edar dapat dilakukan.
Lebih lanjut, Reri juga berjanji untuk lebih memperketat lalu lintas barang impor yang memiliki label 'palm oil free', terutama untuk penjualan daring yang selama pandemi mengalami lonjakan hingga 300 persen.
"Selama pandemi, PSBB, penjualan online sangat meningkat, sampai dengan hampir 300 persen," pungkasnya.