Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir kembali membuka wacana pembubaran sejumlah perusahaan pelat merah. Setidaknya, ada 14 perusahaan yang sudah masuk daftar 'hitam' pemerintah.
Hal itu disampaikan Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga dalam diskusi Matangasa Institute secara virtual pada Senin (28/9) lalu.
Arya bilang 14 perusahaan itu akan dilikuidasi oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA. Hal ini dilakukan untuk merampingkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Daftar BUMN yang Untung dan Buntung |
Gagasan untuk membubarkan, melikuidasi, atau merestrukturisasi BUMN bukan isu baru. Rencana itu sejatinya sudah ada sejak era Rini Soemarno.
Beberapa BUMN yang sempat dibahas saat era Rini, antara lain PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Kertas Kraft Aceh (Persero), PT Industri Gelas (Persero), dan PT Kertas Leces (Persero).
Sementara, baik Erick maupun Arya belum menyampaikan BUMN apa saja yang akan dibubarkan secara detail. Namun, Arya sempat membocorkan BUMN yang sedang disorot salah satunya adalah Merpati.
"Kami tahu, seperti Merpati misalnya, sampai sekarang masih hidup dan kami tidak bisa apa-apain. Ini dalam proses semoga bisa terjadi secepatnya," ujarnya.
Arya memaparkan total BUMN saat ini ada 108 perusahaan. Selain berencana melikuidasi 14 perusahaan, 34 BUMN lainnya akan dikonsolidasikan atau dimerger, 41 perusahaan akan dipertahankan, dan 19 perusahaan akan dikelola atau dimasukkan ke PPA.
Ekonom dari Universitas Perbanas Piter Abdullah mengaku setuju 100 persen dengan keputusan Erick tersebut. Menurutnya, sudah banyak perusahaan pelat merah yang harus 'disuntik mati'.
"Banyak BUMN yang seharusnya sudah harus dibubarin, prosesnya selama ini terlalu lama. Dulu kan sempat dibahas seperti Kertas Leces misalnya," kata Piter.
Piter mengatakan negara akan lebih banyak mendapatkan manfaat ketimbang mudaratnya jika benar-benar membubarkan belasan BUMN tersebut. Pasalnya, keputusan itu dapat mengurangi beban pemerintah.
"Beban negara itu misalnya Merpati, kan sekarang masih ada pengurusnya. Masih harus bayar gaji, kantor masih ada. Pengeluaran ada tapi masukan tidak ada, jadinya kan beban," terang Piter.
Bukan hanya soal finansial, pembubaran belasan BUMN akan membuat jumlah perusahaan pelat merah berkurang. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih fokus dalam mengawasi kinerja BUMN.
"Kalau perusahaan itu masih ada, maka jadi beban pikiran. Contoh ada sampah di ruangan, selama di rumah akan menjadi beban pikiran. Jadi keuntungannya menghilangkan masalahnya, urusan Kementerian BUMN bisa jadi fokus, tidak dibebani hal-hal yang tidak perlu," papar Piter.
Saat ini, ada sekitar 100 BUMN di Indonesia. Jika pemerintah bisa mengurangi jumlah perusahaan pelat merah menjadi 50, maka akan berdampak positif bagi BUMN.
Misalnya, pengawasan yang dilakukan pemerintah akan lebih detail dari sebelumnya. Dengan demikian, kinerja dan tata kelola BUMN juga lebih baik ke depannya.
Di sisi lain, Piter menilai aset negara akan berkurang dengan hilangnya 14 BUMN tersebut. Namun, itu lebih baik ketimbang mempertahankan perusahaan yang tak beroperasi dan memberikan beribu beban ke negara.
"Perusahaan ada nilainya, tapi perlu dihitung besarnya dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung. Aset berkurang, tapi beban setiap bulan juga berkurang. Nilai aset juga sangat kecil," jelas Piter.
Menurutnya, ada tiga kriteria BUMN yang harus ditutup oleh pemerintah. Pertama, BUMN yang sudah tak beroperasi atau bisa dibilang mati suri.
Kedua, tidak punya pendapatan sehingga arus kas perusahaan menjadi beban berat negara. Ketiga, sudah tidak memproduksi apapun sehingga tak berpengaruh terhadap hajat hidup orang.
"Tiga hal ini harus jadi pegangan pemerintah untuk ambil keputusan yang tepat, bubarin saja, tutup," tegas Piter.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019, ada 10 BUMN yang memiliki ekuitas (modal) negatif pada tahun lalu. Rinciannya, PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) yang minus Rp1,22 triliun, PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) minus Rp282,36 miliar, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) minus Rp269,23 miliar, dan PT Asabri (Persero) minus Rp6,1 triliun.
Kemudian, ekuitas PT Asuransi Jiwasraya (Persero) minus Rp33,66 triliun, PT PANN (Persero) minus Rp3,29 triliun, Industri Gelas minus Rp1,11 triliun, dan Kertas Kraft Aceh minus Rp1,07 triliun. Sementara, ekuitas PT Survai Udara Penas (Persero) pada kuartal III 2019 minus Rp125,63 miliar dan ekuitas Merpati semester I 2019 minus Rp6,41 triliun.
Sementara, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengungkapkan daftar BUMN yang akan dibubarkan oleh Kementerian BUMN di era Erick kemungkinan besar sama dengan daftar di era Rini. Ia mencontohkan beberapa perusahaan yang sempat dibahas di era Rini adalah Kertas Leces, Industri Gelas, dan Kertas Kraft Aceh.
"Dari daftar yang beredar dari jaman Bu Rini kan sudah ada soal likuidasi BUMN, jadi sudah digagas tapi tidak tuntas pembahasannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," kata Toto.
Ia sepakat dengan Piter, pemerintah akan untung jika menutup belasan perusahaan pelat merah. Pasalnya, Kementerian BUMN bisa lebih fokus mengontrol sisa BUMN yang masih hidup.
"Pemerintah tidak harus mengurus banyak BUMN. BUMN yang tak punya prospek dilepas saja, jadi pengawasan bisa lebih sederhana," ujar Toto.
Lagipula, Toto menilai tak ada untungnya mempertahankan BUMN yang sudah tak beroperasi. Hal itu justru hanya menambah beban pemerintah.
"Dari sudut pandang ke depannya untung karena bisa mengontrol BUMN lebih baik," imbuh Toto.
Kendati begitu, ia mengingatkan pemerintah untuk menunaikan kewajiban seluruh BUMN yang ditutup. Misalnya, membayar utang dan pesangon karyawan.
"Pemerintah harus menyelesaikan masalah kewajiban kalau harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), kewajiban utang, itu konsekuensi," kata Toto.
Pemerintah sendiri bisa mendapatkan dana segar untuk membayar seluruh kewajiban BUMN yang ditutup dengan menjual perusahaan ke pihak swasta atau disebut privatisasi. Nantinya, PPA sebagai BUMN yang mengurus restrukturisasi perusahaan pelat merah yang akan mengurus privatisasi tersebut.
Namun, proses penutupan atau pelepasan BUMN bukan perkara mudah. Sebab, pemerintah harus mendapatkan izin dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, keputusan likuidasi BUMN tak bisa diambil sepihak oleh pemerintah saja.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera berkomunikasi dengan anggota dewan terkait rencana pembubaran 14 BUMN tersebut.
"Hubungan Kementerian BUMN di bawah Erick sama DPR relatif baik. Jaman Bu Rini, hubungan tidak terlalu baik dengan DPR jadi komunikasi terhambat. Proses pembahasan harus dilanjutkan sampai ada persetujuan," pungkas Toto.