Joe Biden memiliki posisi kuat merebut Gedung Putih dari petahana, Donald Trump, dalam Pemilihan Presiden (AS). Jika Biden menang, sejumlah analis Wall Street memprediksi pasar bisa mendapatkan keuntungan.
Namun, kemenangan Biden mendatangkan ancaman bagi saham-saham di sektor energi, kesehatan, dan teknologi. Mengutip CNN, Selasa (3/11), ketiga sektor tersebut lebih sensitif terhadap kemenangan Biden.
Analis kebijakan Raymond James Ed Mills mengatakan salah satu janji kampanye Biden adalah pembangunan ekonomi berbasis lingkungan, memperluas perawatan kesehatan yang ditanggung pemerintah, dan menaikkan pajak perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika Biden menang dan merealisasikan janji kampanye maka tekanan besar dapat menghampiri perusahaan energi, kesehatan, dan teknologi.
Mills mengatakan perusahaan minyak mendapatkan dukungan dari Gedung Putih selama empat tahun terakhir. Ia memprediksi dukungan itu berubah jika Biden terpilih.
"Kemenangan Biden akan melanjutkan sentimen pergeseran investasi dari sektor energi," kata Mills.
Selain itu, pengelola rumah sakit juga berpotensi terpukul jika Biden meningkatkan jumlah perawatan kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah. Pasalnya, biaya penggantian untuk asuransi swasta cenderung lebih tinggi ketimbang milik pemerintah.
Terakhir, perusahaan teknologi besar telah menjadi momok bagi Partai Demokrat dan Partai Republik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, di bawah kepemimpinan Biden, kebijakan pajak menjadi ancaman nyata bagi pendapatan.
Pasalnya, ia akan memastikan tidak ada perusahaan besar yang lolos tanpa membayar pajak setidaknya 15 persen. Biden juga diprediksi tidak terlalu menentang pengenaan pajak bagi perusahaan layanan digital seperti Google dan Amazon.
Sebenarnya, saham energi sendiri sebetulnya telah anjlok sejak Trump memimpin AS. Sebab, minat investor pada perusahaan minyak dan gas berkurang. Kondisi ini diperburuk dengan pandemi covid-19 yang menghancurkan permintaan.
"Jadi, pembicaraan energi sebenarnya lebih tentang kekuatan ekonomi," katanya.
Tekanan pada sektor energi ini ditandai dengan anjloknya harga acuan minyak mentah global. Harga minyak turun ketika saham-saham utama di Wall Street kompak menguat awal pekan.
Tercatat, minyak mentah berjangka Brent Turun 2,3 persen menjadi sekitar US$37 per barel. Turunnya harga minyak dipicu kasus covid-19 yang bertambah di beberapa negara sehingga permintaan minyak berkurang drastis.
"Dengan meningkatnya kasus virus corona dan penguncian wilayah (lockdown), statistik jumlah kendaraan mulai turun dan penerbangan komersial tampaknya tidak membaik," kata Analis Morgan Stanley Martijn Rats dan Amy Sergeant.
Sebaliknya, persediaan minyak mentah tetap sangat tinggi. Kondisi itu bisa memperburuk harga minyak mentah global di tengah merosotnya permintaan.
Itu berarti, sekalipun pasar modal tampak tangguh, harga minyak menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang nasib pemulihan ekonomi dapat mengganggu pasar dalam beberapa minggu mendatang.
Terlebih, berkurangnya mobilitas masyarakat karena covid-19 bukan hanya berita buruk bagi produsen minyak tetapi juga berdampak pada pemulihan ekonomi global.