Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengisyaratkan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan. Dalihnya, menyesuaikan amanat Peraturan Presiden 64 Tahun 2020 atas kelas standar dan kebutuhan dasar kesehatan (KDK). Ini berarti, sistem kelas dalam layanan kesehatan tidak akan berlaku lagi ke depan.
"Adanya amanat dalam Perpres 64 Tahun 2020 tentang peninjauan ulang iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), rawat inap kelas standar, konsekuensinya pada perubahan besaran iuran," tutur Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (24/11).
Pasal 54 A beleid tersebut menyebut untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, maka menteri dan pemangku kepentingan terkait melakukan peninjauan manfaat Jaminan Kesehatan sesuai KDK dan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, pasal 54 B menyatakan kelas standar diterapkan secara bertahap paling lambat 2022 dan pelaksanaannya dilakukan secara berkesinambungan.
Lewat kelas standar, pemerintah akan menghapuskan ketentuan kelas I, II, dan III bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP), atau mandiri.
Sebagai gantinya, pemerintah akan memberlakukan satu kelas yang sama bagi semua peserta mandiri JKN.
Sebetulnya, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan ada 2 konsekuensi dari penerapan kelas standar tersebut. Di antaranya, penyesuaian iuran BPJS Kesehatan dan Indonesian Case Base Groups (INA-CBG's) atau tarif dengan sistem paket yang dibayarkan pada setiap pelayanan kesehatan.
Ia menuturkan pemerintah nantinya bakal mematok tarif baru untuk kelas standar berdasarkan hitungan aktuaria. Diperkirakan, iuran peserta mandiri kelas I dan II turun dari saat ini Rp150 ribu dan Rp100 ribu per bulan. Sangat mustahil hitungan aktuaria kelas standar lebih dari Rp150 ribu.
Sebaliknya, iuran peserta mandiri kelas III bisa jadi bertambah dari posisi saat ini Rp25.500 per bulan (dikurangi subsidi pemerintah Rp16.500, sehingga total iuran Rp42 ribu).
"Kalau dibilang naik semua, tidak, karena akan dihitung ulang secara aktuaria. Nah, kemungkinan kelas I dan II akan turun entah di Rp60 ribu, Rp75 ribu, atau Rp85 ribu. Tapi, yang pasti yang akan naik kelas 3. Ini lah konsekuensi kelas standar dihitung ulang iurannya," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/11).
Kenaikan iuran itu tentu akan menjadi beban bagi peserta mandiri kelas III yang sebagian besar merupakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Tak usah berandai-andai soal kelas standar, per 30 September 2020 saja, Timboel mengatakan 16 juta peserta mandiri kelas III menunggak pembayaran.
Total tunggakan iuran itu mencapai sekitar Rp14 triliun. Timboel mengaku khawatir jika iuran bertambah, peserta justru enggan membayar.
"2022, kalau dinaikkan lagi, iuran akan membengkak lagi. Saya berpikir ini pasti menyebabkan orang makin banyak non aktif dan hak konstitusional mereka terpinggirkan," katanya.
Data BPJS Kesehatan menyebutkan per 31 Oktober 2020, jumlah peserta mandiri mencapai 35,66 juta, terdiri dari 30,6 juta golongan PBPU dan 5,06 juta golongan BP.
[Gambas:Video CNN]
Secara umum, Timboel mengaku tidak menolak sepenuhnya pemberlakuan kelas standar, karena merupakan amanah dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pasal 19 UU SJSN mendorong prinsip ekuitas, yakni jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.
Namun, lanjutnya, pemerintah belum siap dengan kategori kelas standar saat meluncurkan program JKN pada 2014 lalu. Alhasil, pembagian kelas mengacu pada Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit seperti saat ini.
Bukan berarti implementasinya tanpa catatan. Ada 2 hal yang seharusnya dipenuhi pemerintah sebelum menerapkan kelas standar, sehingga tidak memberatkan satu kelompok masyarakat.
Pertama, pemerintah harus memastikan proses bersih-bersih data (cleansing data) Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) selesai. Pasalnya, data tersebut menjadi acuan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung oleh pemerintah.
Lewat cleansing data itu, pemerintah harus benar-benar memisahkan golongan masyarakat yang masuk kategori peserta mandiri kelas III dan peserta yang berhak menjadi PBI.
"Kaji lagi peserta kelas III, kalau memang miskin masukkan kepada peserta PBI. Konsekuensinya kuota PBI harus dinaikkan dari saat ini 96,8 juta," imbuhnya.
Kedua, pemerintah daerah (pemda) harus siap memberikan subsidi pada peserta PBPU dan BP yang merupakan pengalihan dari PBI APBD di 2021.
Seperti diketahui, pemerintah mengalihkan peserta PBI APBD yang memenuhi kriteria miskin dan tidak mampu menjadi PBI APBN mulai 2021 dan seterusnya.
Sedangkan, yang tidak memenuhi kriteria kepesertaan PBI, maka akan menjadi peserta PBPU dan BP kelas III. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 35 A Perpres 64 Tahun 2020.
Data BPJS Kesehatan menyebutkan jumlah peserta PBI APBD sebanyak 35,76 juta orang per 31 Oktober 2020.
"Sekarang PBI APBD ada 36 juta, apakah ini semua bisa masuk (ke PBI APBN)? Saya kira tidak, karena ada keterbatasan anggaran pemerintah. Jadi, ketika dia jadi PBPU dan BP, pemda harus siap juga memberikan subsidi," katanya.
Selain syarat itu, ada hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah terkait implementasi kelas standar, yaitu persiapan infrastruktur rumah sakit (RS), khususnya RS swasta. Alasannya, pihak RS swasta membutuhkan dana untuk merombak fasilitas kamar menyesuaikan kelas standar.
Menurutnya, jika RS swasta menyambut baik perihal kelas standar, tak ada masalah, sehingga target pemberlakuan akhir 2022 bisa dicapai. Tapi, lain ceritanya jika pihak RS swasta mengatakan keberatan.
"Saya usulkan pemerintah juga harus cari solusi dari sisi kebijakan baru, misalnya ada RS yang mau merombak dengan kelas standar ini tapi tidak punya dana, kasih pinjaman dengan bunga murah supaya penerapan ini sampai selesai 2022," terang Timboel.
Paling utama, pemerintah harus memastikan kelas standar ini memberikan pelayanan lebih baik dibanding klasifikasi kelas perawatan sekarang. Selain itu, pemerintah harus memastikan peserta mendapatkan kemudahan akses perawatan kelas standar.
Sepakat, Direktur riset center of Reform On Economic (CORE) Piter Abdullah menilai wacana kenaikan ini membuktikan sikap tidak konsisten pemerintah. Mengingat, pemerintah baru mengerek naik iuran pada Juli 2020 lalu, untuk peserta mandiri kelas I dan II, namun mempertahankan iuran kelas III.
Ketika itu, pemerintah beralasan kenaikan kelas I dan II yang tidak mendapat subsidi untuk keberlangsungan program BPJS Kesehatan, yang terus mengalami defisit. Pertimbangannya, kelas I dan II dinilai kelompok mampu untuk penyesuaian tarif.
Rinciannya, iuran kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu. Sedangkan, kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu. Untuk kelas III, iuran tetap Rp25.500 (Rp16.500 disubsidi pemerintah,sehingga total iuran Rp42 ribu), namun pada 2021 dan tahun berikutnya naik jadi Rp35 ribu (subsidi pemerintah berkurang jadi Rp7.000).
"Sekarang kalau mau naikkan kelas bawah, ini menjadi tidak konsisten dengan yang kemarin. Kemarin menaikkan karena katanya tidak akan menekan kelompok di bawah, kalau ini dinaikkan akan menjadi beban berat terutama di tengah pandemi," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia menilai sebaiknya implementasi kelas standar dilakukan usai masa pandemi covid-19 berakhir. Pertimbangannya, masyarakat kelas III dalam tekanan karena pandemi, banyak terkena PHK, penurunan pendapatan, dan sebagainya.
"Jangan di tengah kita masih perbaiki perekonomian, malah dibebani dengan kondisi seperti ini. Sangat tidak sejalan dengan upaya pemerintah berikan bantuan sosial, aneh diberikan bantuan tapi ditarikin di sisi lainnya," tutur Piter.
Mengamini pernyataan Timboel, jika kelas standar tetap dipaksakan dan iuran kelas III naik, Piter memprediksi peserta justru tidak disiplin membayar. Ujungnya, kondisi ini akan menjadi beban bagi keuangan BPJS Kesehatan.